20 Mei, 2010

Pelajaran ke sembilan belas


‘An Sahli bni Sa’din qala: qala Rasulullah saw. ana wa kaafilul yatiimi fil jannati kahaataini. (H R Tirmidzi)
Artinya:
Diriwayatkan oleh Sahl bin Sa’ad ra, bahwa Rasulullah saw bersabda : aku dan muslim pemelihara serta penjaga anak yatim nanti disorga seperti kedua anak jariku ini!, Beliau saw bersabda demikian sambil merapatkan kedua anak jari beliau saw.”
Penjelasan.
Anak-anak yatim adalah perbendaharaan yang tidak ternilai harganya bagi satu bangsa. Islam sangat menganjurkan pemeliharaan dan penjagaan anak-anak yatim. Kalimat hadits tadi adalah sebagai slogan dari anjuran yang sangat penting ini. Rasulullah saw mengatakan tentang para orang muslim yang memelihara anak yatim, bahwa mereka disorga demikian dekatnya kepada beliau saw. ibarat dekatnya dua jari dari satu tangan. Sesudah perintah yang penting ini dihubungkan dengan satu ganjaran yang amat besar, tidak ada alasan seorang muslim yang benar akan lalai dan lengah dari pemeliharaan dan penjagaan anak-anak yatim. Dalam pemeliharaan anak yatim itu bukan tujuannya hanya dari segi penjagaan dan pendidikan anak-anak yang terlantar itu saja, bahkan kalau diperhatikan dengan mendalam, akan tampaklah bahwa dengan jalan ini akan bertambah meningkat nantinya semangat pengorbanan dalam bangsa itu.
Kalau anggota suatu bangsa mempunyai keyakinan, bahwa bila mereka meninggal dunia dalam menjalankan tugas terhadap bangsa, maka anak-anak mereka yang menjadi yatim itu sepeninggal mereka tidak akan hidup sengsara, bahkan sanak keluarga mereka serta para anggota bangsa lainnya akan mengurus dengan sempurna anak-anak yatim mereka, maka sudah tentu mereka dengan berani akan menghadapi tiap-tiap pengorbanan. Dengan demikian akan bertambahlah semangat pengorbanan ruh khidmat terhadap bangsa itu.
Jadi menyelenggarakan pemeliharaan anak-anak yatim bukan saja sebagai jalan untuk menghindarkan anak-anak yang belum dewasa itu daripada keruntuhan rohani, akhlaki dan ekonominya bahkan sebagai satu jalan yang hebat pula untuk kelancaran kemajuan suatu bangsa keseluruhannya dan akan menambah semangat pengorbanan mereka.
Tetapi amat disesalkan, dewasa ini dalam kalangan ummat islam kewajiban yang suci ini rupanya oleh mereka sangat diabaikan dan tidak dapat diperhatikan sama sekali, sering terjadi sanak keluarga yang dekat jangankan akan menjadi penjaga mereka, bahkan terbalik memakan harta benda mereka, dan membiarkan mereka tinggal terlantar, akhirnya menjadi sebab atas kehancuran pelajaran dan pendidikan mereka.
Rumah-rumah yatim yang didirikan oleh berbagai badan sosial, umumnya kelihatan dalamnya perasaan tahu harga diri atau selfrespect dari anak-anak yatim itu seolah-olah tertekan dan tertindas demikian buruknya sehingga akhirnya anak-anak yatim itu dalam prakteknya, hidup fakir sebagai orang peminta-minta.
Jadi dalam hal ini masih dibutuhkan perbaikan yang besar. Anggota keluarga yang ditetapkan menjadi wali dan pelindung dari anak-anak saudaranya yang telah meninggal, diharuskan benar-benar mengurus dan mengatur pelajaran, pendidikan, budipekerti yang luhur dan pemeliharaan hartabenda mereka. Kewajiban para pengurus badan-badan sosial yang mengambil pertanggung jawaban ini dalam tangannya, menjadi sebagai bapak bagi anak-anak yatim itu, dan jangan hendaknya anak-anak itu menjadi peminta-minta yang berkeliling dari rumah ke rumah, bahkan mereka hendaknya dapat mencari usaha dan akal agar supaya anak-anak itu, menjadi anggota masyarakat yang tahu harga diri dan yang berguna bagi bangsa. Dan yang lebih penting ialah dalam kalbu mereka jangan dibiarkan ada perasaan bahwa mereka anak yang sengsara, tidak berkaum-kerabat dan mereka hanya hidup atas derma kasihan orang lain.
Selain itu, para anak yatim tidak perlu berkecil hati, mereka harus ingat bahwa orang yang paling mulia diatas dunia ini yaitu penghulu kedua alam, junjungan para nabi shallalahu alaihi wasallam pun tadinya adalah yatim juga. Malah keyatimannya itu terjadi sebelum dia dilahirkan ke dunia, ayahnya telah meninggal. Ibunya pun telah meninggalkannya waktu dia baru berumur 6 tahun. Jadi kalau mereka mengambil jalan yang baik.
Maka yakinlah, bahwa Allah swt, pun tidak akan menyia-nyiakan mereka, sedang siapakah yang lebih besar pemeliharaannya dari Allah swt?.

Baca selengkapnya......

18 Mei, 2010

Pelajaran ke delapan belas


‘An Abdillahi bni Abi aufa qaala: qaala Rasulullah saw. wal ladsi nafsu muhammadin biyadihi laa tuaddiyal mar’atu haqqa rabbiha hatta tuaddiy haqqa zaujiha” ( HR Ibnu Maja)

Artinya.
Diriwayatkan oleh Abdullah Ibnu Abi Auf ra, bahwa Rasulullah saw, bersabda. Demi dzat yang menggenggam jiwa Muhammad dalam tangan-Nya, tidaklah seorang perempuan dianggap menunaikan kewajibannya terhadap Allah swt, sehingga ia belum menunaikan kewajiban terhadap suaminya. ( H R Ibnu Majah)

Penjelasan.
Disatu pihak dengan tegas Rasulullah saw menyuruh kepada laki-laki supaya berbuat baik kepada istrinya, dan dipihak lain menganjurkan dengan tegas kepada kaum wanita supaya seorang istri harus menunaikan kewajiban-kewajibannya terhadap suaminya. Karena ketentraman sejati dan berkah yang hakiki, akan dapat meliputi suatu rumah tanggan, kalau sang suami memberikan perlakuan yang sebaik-baiknya terhadap istrinya dan sang istri menunaikan segala kewajiban-kewajiban nya dengan kesetiaan yang sesempurna-sempurnanya terhadap suaminya. Rasulullah saw sangat memperhatikan kepada kewajiban yang suci ini dari kaum wanita, sehingga dalam satu hadits beliau saw. bersabda, kalau suami dari seorang istri muslim meninggal dunia, dalam keadaan hati senang terhadap istrinya, kemudian istri itu juga dengan karunia ilahi akan masuk kedalan surga.
Dan dalam bagian kedua dari hadits tersebut diatas beliau saw bersabda, “kalau dalam islam dibolehkan untuk bersujud kepada sesuatu yang selain Allah, kemudian aku akan perintahkan supaya istri bersujud kepada suaminya.”
Sabda dari Rasulullah saw, bahwa seorang istri yang tidak menunaikan kewajibannya terhadap suaminya, ia tidak dapat menunaikan kewajibannya terhadap Allah swt juga, ini mengandung dua hikmah yang dalam:
Pertama, Walaupun dalam derajat-derajatnya ada perbedaan-perbedaan yang bagaimanapun besarnya, tetapi kedua-dua kewajiban ini adalah satu sifatnya. Misalnya sebagaimana Allah swt, sangat mencintai hamba-hamba-Nya, begitu pula seorang suamipun mempunyai martabat yang luar biasa dalam kecintaanya kepada istrinya, meskipun ada kecintaan itu, tetapi Allah swt, tetap menguasai dan mengawasi hamba-hambaNya, begitu pula sang suami walaupun mencintai istrinya, tetapi dia juga yang menjaga dan melindungi rumah tangga itu. Allah swt, adalah Razzak (Yang Maha memberi rezeki) bagi hamba-hambaNya dan mengadakan jalan-jalan untuk menghidupkan mereka, begitu pula sang suami berkewajiban mengadakan keperluan-keperluan dan belanja untuk istrinya. Demikian pula banyak bagian-bagian lain juga mempunyai banyak persesuaian semacam itu. Dan persesuaian itu adalah demikian jelas, sehingga dalam bahasa Urdu suami dinamakan ‘Tuhan Kiasan’ juga malah bunyi perkataan “Khudawad” (Tuhan) dan “Khawad“ (suami) itupun sangat sesuai dan menyerupai kepada satu sama lain.
Kedua : Hikmah yang satu lagi, ialah dalam ajaran islam hak-hak dan kewajiban untuk manusiapun ditetapkan oleh Allah swt. Syariat islam sangat mementingkan kepada Huqququl ibad (kewajiban terhadap sesama manusia) maka ada hadits yang menerangkan, bahwa Allah swt suka memaafkan kepada dosa-dosa yang mengenai huqququllah (kewajiban kepada Allah) tetapi dosa-dosa yang mengenai huqququlibad (kewajiban terhadap manusia) tidak suka dimaafkan olehNya, hingga manusia itu sendiri tidak memaafkan kepada yang ia berbuat dosa itu.
Berdasar kepada dua hikmah inilah Rasulullah saw, telah bersabda, dengan bersumpah atas nama Allah swt, beliau saw. berkata dengan perkataan yang sangat tegas, bahwa seorang istri tidak dapat dianggap menunaikan kewajiban-kewajibannya kepada Allah, sehingga ia belum menunaikan kewajiban-kewajibannya terhadap suaminya. Kemudian beliau saw, mengisyaratkan pula hal ini dalam perkatan-perkataan itu, bahwa Allah tidak akan senang dan ridho kepada seorang istri, yang belum menunaikan kewajibannya terhadap suaminya.
Apakah hak-hak suami atas istrinya ?. maka tentang hal ini Al-qur’an dan Hadits menunjukkan, bahwa hak-hak seorang suami dari istrinya ialah seorang istri harus patuh dan taat kepadanya, menghormati dengan sepatutnya, mencintai dan tetap setia padanya, memperhatikan kepada pendidikan anak-anaknya, menjaga kepada harta bendanya dan sedapat mungkin harus mengkhidmati suaminya. Sebaliknya dari itu hak-hak sang istri dari suaminya, ialah seorang suami harus mencintai, menyayangi dan membesarkan hati istrinya, melindungi ia dari kesusahan, menghormati perasaannya dan sesuai kemampuannya menanggung segala belanjanya yang perlu untuk penghidupannya. Sekarang setiap orang dapat memikirkan sendiri, bahwa kalau suami dan istri saling memperhatikan kepada hak-hak ini terhadap satu sama lain, kemudian apakah kekurangan dalam rumahtangga seorang islam untuk menyerupai sebagai jannah(surga)?.

Baca selengkapnya......

09 Mei, 2010

Pelajaran ke tujuh belas


‘An Jabirin qaala : qaala Rasulullah saw. khaerukum khaerukum liahli wa ana khaerukum liahli. ( Tirmidzi)

Artinya.
Dari hadhrat Jabir ra. Bahwa Rasulullah saw berkata, bahwasanya orang yang paling baik diantaramu ialah yang paling baik terhadap istrinya dan dari antaramu yang paling baik kepada istrinya, aku adalah yang paling baik terhadap istriku. ( HR Tirmidzi)

Penjelasan.
Dalam hadits ini dengan terang dan jelas dianjurkan untuk berlaku yang baik terhadap istrinya. Rasulullah saw. begitu mementingkan perlakuan yang baik dari seorang suami terhadap istrinya, sehingga beliau saw. berpesan bahwa sekalipun kamu telah percaya kepada Allah dan RasulNya dan telah beruntung juga mendapat kenikmatan iman, tetapi dalam urusan uququl ibad, Allah swt akan melihat pula kepada amal-amalmu yang kamu jalankan dalam memperlakukan kepada hamba-hamba Nya. Dari antara amal-amal semacam itu perlakuan yang baik terhadap istri mendapat derajat yang sangat istimewa dalam islam, sehingga dari antaramu orang yang lebih baik disisi Allah. Ialah yang lebih baik dalam perlakuan terhadap istrinya, Akan tetapi oleh karena setiap orang menurut pendapatnya sendiri mungkin menganggap baik kepada tindakannya sendiri maka untuk menghilangkan salah faham ini yang mungkin terjadi ini, kemudian Rasulullah saw bersabda, bahwa ukuran untuk menetapkan perlakuan yang baik itu bukan peraturan bikinanmu sendiri melaingkan dalam hal ini percontohan dari pada aku s.a.w., yang harus diperhatikan, karena dengan taufik yang diberikan Allah swt aku adalah paling baik dalam memperlakukan terhadap istriku dari pada kamu sekalian.
Dengan perantaraan sabda Rasulullah saw ini, beliau s.a.w. telah menegakkan hak-hak wanita islam sebagai istri atas derajat yang sangat mulia, sehingga selain dari kesalah-fahaman yang sementara, yang kadang-kadang mungkin terjadi dalam keluarga-keluarga yang sebaik-baiknya juga, seorang istri yang suci tidak akan menderita dalam penghidupan yang sukar dirumah seorang laki-laki islam yang syahdu. Sebenarnya kalau sang istri menerima kesenangan dan kesentausaan haqiqi dari pihak suaminya, kemudian dia akan rela menderita segala kesusahan lain dalam dunia ini dengan relahati. Dan disisi seorang istri yang suci itu segala nikmat-nikmat dunia yang lain-lainnya tidak berarti sedikit jugapun, dibandingkan dengan kesenagan haqiqi yang dia dapat dari suaminya. Akan tetapi kalau seseorang istri tidak dihiraukan, tidak diberi perlakuan yang baik dari suaminya, kemudian harta benda suaminyapun adalah sebagai laknat baginya dan kehormatan suaminya adalah sebagai laknat baginya dan kesehatan suaminyapun adalah menyerupai laknat baginya, karena hal-hal ini baru akan berharga kalau disertai dengan kecintaan dari suaminya dan ketentraman dan kesentausaan dalam rumah tangga. Maka tidak ada keraguan sedikit jugapun dalam hal ini, bahwa sabda Rasulullah saw ini, cukup untuk menjadikan suatu rumah tangga sebagai jannah, asalkan sang istripun harus patuh dan setia kepada suaminya, serta menghargai pula kecintaannya. Lagi pula persatuan yang erat diantara suami dan istri itu niscaya akan memberi bekas dan pengaruh kepada keturunannya dan dengan jalan ini berkat kebahagiaan pada hari ini menandakan adanya suatu berkat dan kebahagiaan yang kekal untuk selama-lamanya.
Inilah pelajaran yang diberikan oleh Rasulullah saw, 1400 tahun lebih telah berlalu, sewaktu beliau saw, berada ditangah-tengah satu negri dan bangsa dimana seorang wanita seumumnya tidak mempunyai kedudukan lebih dari hewan, kemudian seruan yang terkandung dalam ajaran ini telah digandengakan dengan dua hal yang sangat tinggi ukurannya, sehingga dalam zaman sekarang bangsa yang telah maju belum sampai kepada itu, malah tidak mungkin mereka akan sampai kepada ketinggian pelajaran seperti itu, karena apabila dipersatukan dengan kedua hal itu maka pastilah perlakuan baik terhadap istri itu akan mendapat satu martabat yang sangat tinggi, dan dalam hal ini tidak ada martabat yang lebih tinggi darinya, sesuai dengan sabda Rasulullah saw :


“khaerukum kherukum liahli wa ana khaerukum liahli”
Artinya : “orang yang lebih baik diantaramu ialah orang yang lebih baik terhadap istrinya dan diantaramu aku lah yang paling baik kepada istrinya.”
Kedua hal itu adalah demikian :
Pertama, perlakuan baik dari seorang suami terhadap istrinya bukan saja suatu hal yang perlu, tetapi sesungguhnya dalam lapangan haqququl ibad (kewajiban terhadap sesama manusia), sifat dan kelakuan inilah dari seorang laki-laki menjadi ukuran yang sebenarnya tentang derajat dan martabat (seorang laki-laki) disisi Allah swt. bagi siapa yang lebih baik dalam perlakuan terhadap istrinya, dialah yang lebih baik disisi Allah swt.
Kedua, ketetapan dan ukuran untuk perlakuan yang baik itu tidak tergantung kepada pendapat perorangan dari seseorang (karena dengan mulut sendiri tiap-tiap orang dapat mengklaim dirinya saja yang baik), melaingkan ukurannya itu adalah kesesuaian percontohan dan suri teladan suci daripada Rasulullah saw.
Maka yang dikatakan perlakuan baik ialah yang betul-betul sesuai dengan percontohan yang suci dari Rasulullah saw.

Baca selengkapnya......

27 April, 2010

Pelajaran ke enambelas


An abi Hurairata ra, anna Rasulallah saw qoola, tunkahul mar’atu li arbain limaalihaa wa lihasabihaa wa lijamaalihaa wa lidiinihaa fadzfar bidsaatiddiin taribat yadaaka. (HR Bukhari)

Artinya:
Dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah saw bersabda, bahwa untuk menikah dengan seorang perempuan laki-laki memperhatikan empat hal: pertama karena hartanya, karena asal keturunannya, dan karena kecantikannya, dan karena agama dan akhlaknya, maka kamu harus memilih karena yang tinggi akhlak dan agamanya, bila tidak maka tanganmu akan tercelup lumpur selamanya.

Penjelasan.
Dalam hadits ini Rasulullah saw, setelah menerangkan hal-hal atau sifat-sifat yang umumnya di dunia ini dijadikan dasar untuk memilih seorang perempuan sebagai istri, maka beliau saw menganjurkan kepada orang-orang islam, supaya dalam memilih seorang yang akan dijadikan istri harus mendahulukan kepada akhlak dan agamanya, dan kemudian pada hal-hal yang lain, beliau saw menerangkan bahwa sebagai akibat menjalankan pelajaran ini penghidupan dalam rumah tangga orang islam akan sentausa dan berbahagia dan dengan meninggalkan kepada jalan ini bisa jadi mereka akan dapat kesenangan yang sementara saja tetapi tak mungkin mereka mendapat kebahagiaan yang haqiqi dan abadi itu. Sabda Rasulullah saw yang berberkah ini, didasarkan atas hikmah yang sangat dalam, karena dengan ini bukan saja dibukakan jalan untuk memelihara kehidupan dalam rumah tangga orang islam atas dasar yang sangat mulia, tetapi juga menunjukkan jalan untuk pemeliharaan dan kemajuan keturunan-keturunan mereka yang akan datang.
Sangat disesalkan, bahwa jangankan orang-orang lain bahkan sebagian besar orang-orang islam dalam zaman sekarang ini waktu memilih wanita sebagai calon istrinya sama sekali tidak memperhatikan bagian akhlak dan agamanya, setidak-tidaknya lebih mendahulukan kepada hal-hal dan sifat-sifat lainnya daripada akhlak dan agamanya. Ada orang yang terpesona oleh kecantikan wanita-wanita ini dan menutup mata terhadap segi yang lainnya, adalagi yang suka kepada keturunannya dan melupakan kepada hal lainnya dan begitu pula ada yang tertarik kepada hartanya dan mau menjadi budaknya. Padahal yang sungguh-sungguh asli dapat dijadikan dasar untuk memperoleh kesenangan dan kebahagiaan yang kekal dalam kehidupan rumah tangga, ialah agama dan akhlak dari sang istri itu. Dalam dunia ini sering sekali kejadian, bahwa seorang laki-laki memilih kepada seorang wanita sebagai istri hanya karena kecantikan dan ke elokannya parasnya saja, tetapi setelah berselang tidak lama apabila kecantikan nya itu sudah mulai pudar dan layu atau karena sudah ada perempuan lain yang lebih bagus dan cantik lagi, laki-laki yang sewenang-wenang itu tidak memperhatikan lagi istrinya itu. Begitu pula setelah hidup lama dengan istri itu barulah laki-laki itu menyadari beberapa hal dalam hal akhlak istrinya itu, yang tidak menyenangkan padanya, dalam keadaan yang semacam ini jangankan mengecap kesenangan dalam penghidupan, malah rumah tangga itu menyerupai neraka bagi laki-laki itu. Begitu pula dengan perkawinan yang berdasarkan keturunan atau harta bendanya, karena seringkali disebabkan ketinggian dalam hal keturunan dan gengsi, dalam hati si istri dapat timbul perasaan-perasaan sombong dan angkuh dan meninggikan diri terhadap suaminya, hal mana yang dapat membinasakan kepada kesenangan dan kegembiraan rumah tangga, apalagi harta benda itu bersifat tidak kekal, hari ini bisa ada besok habis dan kadang-kadang harta si istri menjadi musibah bagi suaminya dan tidak memberikan kesenangan sedikitpun. Maka sebagaimana Rasulullah saw bersabda, bahwa dasar yang hakiki untuk persatuan dan kesenangan dan kebahagiaan dalam rumah tangga ialah agama dan akhlak dari istri, dan sangatlah buruk nasibnya orang yang meninggalkan kepada sifat-sifat yang kekal dan azali ini, dan mengejar kepada permainan yang sementara itu, sesuatu yang hanya sepuhan dan polesan belaka. Pengaruh dan bekas dari seorang istri yang suci dan berakhlak mulia sangat mendalam kepada anak-anak keturunannya, ia adalah suatu nikmat yang abadi yang tidak mungkin diabaikan oleh seorang laki-laki yang bijaksana, yang selain dari kesenangan dirinya menaruh minat pula kepada kemajuan keturunannya. Sudah nyata dan jelas, bahwa pendidikan anak yang sebenarnya semasa mereka masih kecil, selamanya tergantung kepada ibunya, karena terutama anak-anak waktu kecil menurut kudratnya lebih banyak condong kepada ibunya, lebih banyak bercampur bergaul dengan ibunya dan sebahagian besar waktunya habis dalam asuhan ibunya. Kedua baru dengan bapak oleh karena kewajibannya yang lain-lain seorang bapak tidak dapat mencurahkan lebih banyak perhatiannya terhadap anak-anak. Maka walaupun bagaimana pun juga keadaannya sebagian besar tanggung jawab tentang pendidikan anak-anak dalam masa permulaan terletak kepada ibunya. Oleh karena itu kalau sang ibu itu suci dan berakhlak mulia dari permulaannya ia akan dapat juga membina akhlak anak-anak atas dasar yang mulia. Akan tetapi berlawanan dengan itu seseorang wanita yang kosong dari agama dan akhlak, ia sekali-kali tidak akan berhasil menanam adat-adat dan akhlak yang mulia di dalam anak-anaknya. Malah kadang-kadang perempuan semacam itu sama sekali tidak mengerti kepada kepentingan agama dan keperluan akhlak yang mulia. Maka bukan hanya usaha untuk kebahagian rumah tangga saja, tetapi juga usaha pemeliharaan dan kemajuan keturunan yang akan datang.
Seorang istri yang suci dan berakhlak mulia adalah suatu nikmat yang amat agung yang tiada tara bandingannya dalam nikmat-nikmat dunia lainnya. Oleh karena itu Yang Mulia Rasulullah saw. telah bersabda:
“ Khaerum mataud dunnya amraatu sholihati, Artinya. Sebaik-baik keuntungan dalam dunia ini ialah perempuan yang sholeh “
Hadits yang dijelaskan ini bukan bermaksud bahwa dalam memilih jodoh, hal-hal lain sama sekali tidak boleh diperhatikan, melainkan ini hanya bermaksud bahwa bagian-bagian kebaikan dan akhlak lah yang harus di dahulukan. Sebab Rasulullah saw sendiri juga pada beberapa tempat yang lain pernah menyuruh untuk memperhatikan hal-hal yang lain juga dalam perkawinan, karena hal itu pun sampai suatu batas tertentu adalah sesuai dengan kehendak fitrat manusia. Misalnya, walaupun ada peraturan-peraturan dan hukum-hukum tentang jilbab, tetapi Rasulullah saw bersabda, bahwa sebelum nikah, haruslah lebih dahulu melihat kepada perempuan yang akan dinikahi, supaya jangan sampai kemudian sesudah kawin timbul suatu keraguan atau kekecewaan. Pada satu waktu ada seorang wanita yang menghadap kepada Beliau saw untuk memohon musyawarah dari Beliau saw tentang perkawinannya, kemudian Beliau saw berkata, bahwa aku tidak memberi musyawarah kepadamu untuk kawin dengan si anu, karena orang itu adalah miskin dan dalam serba kekurangan, maka ia tidak akan dapat menanggung belanjamu dan begitu pula aku tidak memberi musyawarah kepadamu untuk dengan si anu, karena ia senatiasa keras tangannya, tetapi boleh kamu kawin dengan si anu karena ia sesuai dengan keadaan-mu. Begitu pula pada tempat lainnya beliau saw bersabda, kepada sahabat-sahabatnya, bahwa wanita dari suku quraisy adalah sangat setia kepada suaminya dan sangat sayang dan cinta kepada anak-anaknya. Pada suatu waktu yang disuatu tempat, beliau saw berkata, bahwa sedapat mungkin kamu harus menikah dengan perempuan yang melahirkan banyak anaknya, supaya pada hari kiamat aku dapat berbangga atas banyaknya ummatku.
Pendeknya, menurut masing-masing tempat dan dalam tiap-tiap keadaan dan kemampuan, Beliau saw mengizinkan untuk memperhatikan hal-hal yang lainnya dalam mencari calon untuk dinikahi. Akan tetapi apa yang dianjurkan dengan sangat istimewa oleh Beliau saw ialah segi agama dan akhlak dari perempuan itu haruslah didahulukan dan diutamakan, bila tidak demikian maka kamu sendirilah yang menanggung atas penuhnya tanganmu dengan lumpur. Demikianlah suatu pelajaran yang sangat tinggi nilainya dan dengan mengikuti ini, rumah-rumah orang islam dapat menjadi tempat yang penuh dengan berkah dan kebahagiaan. Semoga kita mengerti akan hal ini.

Baca selengkapnya......

22 April, 2010

Pelajaran ke lima belas


An Anasi bni Maaliki ra yuhadditsu an Rasulillahi saw. qoola akrimuu aulaadakum wa ahsinuu adabahum (H R Ibnu Maja)
Artinya :
Dari Annas ibnu Malik ra. Berkata bahwa saya telah mendengar Rasulullah saw, bersabda: hormatilah keturunanmu dan didiklah adat dan kesopanan pada mereka dalam bentuk yang sebaik-baiknya. ( H R Ibnu Maja )

Penjelasan.
Islam mengakui hak-hak orang tua terhadap anak-anaknya dan mengharuskan kepada anak-anak untuk menghormati dan mengkhidmati orang tuanya. Begitupun menyuruh kepada orang tua, bahwa mereka pun harus menghormati anak-anaknya dengan sepantasnya, dan harus berlaku dengan begitu rupa terhadap mereka, supaya sifat-sifat menghargai dan menghormati diri pribadi tumbuh dalam diri mereka. Lagi pula orang tua harus menaruh minat dan perhatian yang istimewa terhadap pengajaran dan pendidikan bagi anak-anaknya, supaya mereka setelah dewasa dapat menunaikan segala kewajiban-kewajiban dari haqququllah dan haqququlibad, dengan sebaik-baiknya, dan menjadi sebab kemajuan bangsanya. Sebenarnya suatu bangsa tidak dapat memperoleh kemajuan, malah tidak dapat terjaga dari kemunduran, kalau orang-orangnya tidak sanggup meninggalkan dibelakang mereka keturunan yang lebih baik dari mereka sendiri. Jika setiap ayah berusaha dengan sungguh-sungguh, bahwa ia akan menyiapkan anak-anaknya untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi dan perilaku anaknya agar lebih baik dari dia sendiri, maka pasti setiap langkah yang akan datang dari bangsa itu akan lebih tinggi dari setiap generasi yang sudah. Dan bangsa yang seperti itu dengan karunia Allah akan terpelihara dari bahaya kemunduran, namun disayangkan, bahwa masih banyak orang tua sama sekali tidak memperhatikan kepada aturan yang sangat berharga ini, akibatnya sebagian anak-anak bukan saja lebih baik dari orang tuanya malah mereka di didiknya seolah-olah seperti orang mati, yang lahir dalam rumah orang-orang yang hidup. Orang tua yang semacam itu hanya memperhatikan kepada makanan, minuman, dan pakaian-pakaian anak-anak itu dan juga memberi perhatian sangat sedikit dan terbatas untuk pengajaran bagi anak-anaknya, akan tetapi mereka seumumnya sama sekali mengabaikan pendidikan bagi anak-anaknya itu, seakan-akan hal itu tidak perlu diperhatikan. Padahal dibandingkan dengan soal pengajaran, memang soal pendidikan adalah jauh lebih penting, dan derajat pendidikan pun adalah jauh lebih tinggi dari pada derajat pengajaran. Seorang yang kurang tinggi pelajarannya, tetapi berakhlak tinggi, dengan mempunyai sifat-sifat: rajin, benar, jujur, suka berkorban, dan halus budi pekertinya, sesungguhnya ia lebih baik dari pada seorang yang tinggi pelajarannya tetapi kosong dari ahlak yang tinggi. Boleh dikata ia memikul beban ilmu seperti keledai diatas kepalanya, seperti firman Allah yang berbunyi: “walaa taqtuluu aulaadakum” artinya : dan janganlah kamu membunuh keturunanmu, inipun bermaksud menunjukkan hakikat bahwa kalau kamu tidak memperhatikan pendidikan yang baik dan pelajaran yang baik bagi anak-anakmu, hal itu seolah-olah kamu telah membunuh mereka.
Baiklah dijelaskan bagian kedua dari hadits ini, yakni: “menghormati anak-anak”. Sebenarnya dalam hal ini selain agama islam, agama-agama lain tidak memberikan perhatian sedikitpun pada pengurusan anak. Karena agama-agama lain tidak ada memperdalam kepada bagian ini “ menghormati anak-anak”, bahwa tanpa “menghormati anak”. Dengan sepantasnya tidak dapat di didik ahlak yang mulia dalam diri anak-anak itu. Sebagian dari orang tua yang tidak mengerti, meskipun mereka mencintai anak-anaknya, tetapi dalam lahirnya berlaku dengan sikap dengan cara yang begitu rendah dan sewenang-wenang, malah mencaci maki anak itu, sehingga perasaan menghormati diri, mempertahankan diri, dan menghargai diri, menjadi kandas membeku dan musnah. Maka pelajaran ini yang diberikan oleh Rasulullah saw. seharusnya dicatat dengan tinta emas, “bahwa haruslah berlaku terhadap keturunanmu sendiri dengan hormat yang sepantasnya.” Semoga orang islam dapat menghormati betul pelajaran yang penuh dengan kebijaksanaan ini. Amiin

Baca selengkapnya......

Pelajaran ke empat belas


‘An Abi Bakrata ra qoola: qoola Rasulullah saw. ‘alaa unabbiukum bi akbari kabaairi tsalaatsan, qaaluu balaa ya Rasulallah!, qoola al isyraku billah wa uququlwalidaini, wa jalatsa wa kaana muttaqian faqola alaa wa qaula zuuri, fama zaala yukarriru haa hatta qulnaa laytahu sakata. ( H R Bukhari)
Artinya :
Dari Hadhrat Abu Bakkar ra. , bahwa Rasulullah saw bersabda, ketahuilah, kuberitahukan kepadamu tentang dosa yang besar, diulanginya tiga kali, sahabat menyahut tentu ya Rasulullah!, Beliau bersabda, pertama ialah syirik kepada Allah swt dan kedua ialah durhaka dan mengabaikan kepada orang tua, kemudian beliau segera tinggalkan dari bersandar pada bantal dan berkata, perhatikannlah ! dosa yang lebih besar lagi ialah ucapan yang bohong ! dan dan beliau saw terus mengulangi perkataan itu, sehingga kami berkata dalam hati alangkah baiknya jika beliau saw mecukupkan mengulanginya. ( H R Bukhari)
Penjelasan hadits.
Dalam hadits yang sangat penting ini Rasulullah saw waktu menerangkan dosa-dosa yang terbesar, telah memilih tiga perkara yang besar menurut kerohaniaan dan akhlaq yang adalah sebagai pokok dasar daripada tiga lapangan yang terpisah-pisah sebagai berikut:
Pertama: ““haququllah kedua, “haququlibad” ketiga “ islah nafs” atau perbaikan batin sendiri.
Dosa yang terbesar adalah syirik, yaitu mempersekutukan Dzat Allah yang Khalik dan Malik diatas kita dengan sesuatu yang lain yang tidak menjadikan kita dan tidak pula berkuasa atas kita. Oleh karena itulah dosa syirik itu terjadi dari “berkhianat” dan “berontak”. Inilah suatu khianat yang sangat hebat, bahwa bertentangan dengan Dzat Allah yang menjadikan kita dan memberikan segala sarana kemajuan rohani dan jasmani kepada kita, adanya perhubungan kepada sesuatu yang tidak suatu hubungan dengan kejadian kita dan tiada pula suatu pertalian, dengan berlangsungnya hidup kita. Demikian pula inilah suatu pemberontakan yang sangat dahsyat, bahwa dengan melawan dan berpaling dari pemerintahan Dzat yang menjadi Raja dan Kuasa yang haqiqi dari dunia ini, lalu tunduk kepada sesuatu yang sama sekali tidak mempunyai suatu kekuasaan pribadinya diatas kita sedikitpun. Akan tetapi sangat disayangkan, bahwa dalam dunia sekarang yang telah maju inipun, seperti bangsa-bangsa yang sekalipun nampaknya mempunyai pelajaran dan kebudayaan yang tinggi, tetapi mereka tidak bersih dari noda syirik itu. Maka bangsa-bangsa kristen yang menganggap kepada nabi Isa as. sebagai Tuhan mereka telah memasukkan dirinya kedalam kanca syirik sampai sekarang dan beribu-ribu dewa yang dipercayai oleh orang hindu adalah suatu cerita yang terbuka yang diketahui oleh anak-anak sekalipun.
Dosa besar yang kedua, yang diterangkan dalam Hadits ini ialah “uququl walidaini”. Uquq dalam bahasa arab berarti: menolak dan tidak patuh kepada orang tua, tidak menghormati mereka sebagaimana seharusnya, tidak menemui mereka dengan cinta kasih dan lalai dalam mengkhidmati mereka. Kewajiban taat dan berkhidmat kepada orang tua adalah berhubungan dengan “huququl ibad” dan diantara kewajiban-kewajiban lain terhadap dunia, inilah kewajiban yang paling suci, dimana Rasulullah saw sendiripun bersabda dalam hadits: Bahwa dalam kesenangan orang tua ada kesenangan Allah dan dalam kemurkaan orang tuan ada kemurkaan Allah. Dalam hadits lain beliau saw, bersabda : Bahwa orang itu sangat buruk nasibnya, yang masih hidup waktu orang tuanya sudah sampai kepada usia tua, tetapi ia tidak membukakan jalan kesorga bagi dirinya karena tidak betul-betul mengkhidmati orang tuanya itu.
Contoh dan suri teladan dari diri beliau saw. Dalam hal ini ialah, pada sekali waktu beliau saw sedang membagikan suatu harta benda, datanglah ibu susuan beliau saw untuk berjumpa dengan beliau saw. Beliau saw. segera berdiri untuk menjemput dengan mengucapkan: ibuku, ibuku ! “ dan beliau saw membentangkan cadarnya sendiri dan dengan sangat hormat dan cinta mempersilahkan ibu susuan untuk duduk diatas cadar itu. Pendek nya, islam sangat mementingkan untuk beritaat dan berkhidmat kepada orang tua. Ketidak patuhan atau durhaka terhadap orang tua adalah dosa yang terbesar sesudah dosa syirik. Alquran pun menerangkan:
Wahfids lahumaa janaaha dsulli minarrahmati wa qul rabbirhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiroo. (17:25)
Artinya : dan tundukkanlah terhadap keduanya itu tanganmu dengan merendahkan diri karena kasih sayang dan mohonkanlah : Ya Tuhanku !, berilah rahmat kepada keduanya itu sebagaimana keduanya telah memelihara aku waktu aku masih kanak-kanak”.
Semoga kitapun diberi taufik untuk berkhidmat kepada orang tua.
Dosa besar yang ketiga, yang diterangkan dalam hadits ini, ialah :”berkata bohong” . Tentang ini sikap dan pendirian islam sudah cukup jelas dari perkataan dalam hadits ini, bahwa apabila beliau saw menerangkan, tentang berkata bohong, kemudian beliau saw, segera duduk dengan semangat dan berulang-ulang mengucapkan perkataan: “Ala waqaulu zuuri”. Artinya : ketahuilah berkata bohong. Yaitu dosa yang besar lagi sesudah syirik, dan kedurhakaan kepada orang tua, ialah berkata bohong dan dusta. Sebenarnya kalau hal-hal berbuat dosa dapat dikatakan sebagai bibit dari pohon dosa, maka bohong itu sebagai air untuk menyirami bibit itu dan dengan air bohong inilah pohon dosa akan tumbuh, menghijau dan berkembang. Karena bohong itulah orang berani berbuat dosa dan akan mendapat alasan dan jalan untuk tidak keluar dari bejat dan lumpur dosa. Sebab biasanya dengan bohong itulah orang berusaha untuk menutupi dan menyembunyikan dosa, kemudian dibelakang tutupan itulah dosa mulai besar dan berkembang terus. Maka bohong itu bukan saja dalam dirinya adalah suatu dosa, malah menjadi pula suatu sandaran yang sangat buruk untuk dosa-dosa yang lain. Oleh karena itulah Rasulullah saw. bersabda, bahwa sesudah syirik dan ketidak patuhan kepada orang tua dosa yang terbesar lagi adalah, ”berkata bohong.”. Dalam satu hadits lain dikatakan , bahwa sekali peristiwa seorang islam memohon dihadapan Rasulullah saw demikian: “ Ya Rasulullah !, batin hamba sangat lemah dan diri hamba terlibat dalam banyak kesalahan dan hamba rasa tidak kuat melepaskan semua dosa-dosa itu dengan serentak, dan hamba memohon dari Yang Mulia Rasulullah saw, bahwa dosa manakah yang hamba harus lepaskan lebih dahulu?, Beliau saw bersabda: “Tinggalkanlah bohong“. Orang itupun sanggup dan berjanji untuk meninggalkan bohong dan langsung kembali kerumahnya, kemudian terdorong dari kebiasaanya, ketika ia hendak berbuat sesuatu dosa yang lain, kemudian terpikir olehnya, bahwa kalau perbuatan saya ini diketahui oleh Rasulullah saw dan sampai beliau saw menanyakan hal ini dariku, kemudian aku tidak boleh berbohong, lalu aku akan menjawab apa kepada Rasulullah saw?. Begitu juga kalau kejahatan saya ini diketahui oleh orang mukmin yang lain, lalu bagaimana saya dapat menyembunyikan dosa ini dihadapan mereka? Setelah berpikir dan berpikir akhirnya ia berkesimpulan, bahwa apabila, “berkata bohong” sudah ditinggalkan, kemudian lebih baik semua dosa lain ditinggalkan juga. Maka berkat meninggalkan bohong, maka dia bisa terlepas dari semua dosa-dosa. Demikianlah Rasulullah saw. dengan penuh hikmah yang sempurna telah menetapkan bohong sebagai dosa yang terbesar sesudah dosa syirik, dan ketidak patuhan kepada orang tua ibu bapak.
Dan dengan ini beliau saw memberikan satu rahasia pendidikan yang sangat baik untuk perbaikan orang-orang islam, supaya dengan mengikuti itu mereka dengan mudah lepas dari dosa-dosa. Sebenarnya bohong adalah suatu dosa yang paling buruk dan terhina, maka tiap-tiap orang baik berkewajiban, bahwa dari antara dosa-dosa akhlaqi, terlebih dahulu ia harus dapat meninggalkan berkata bohong untuk selama-lamanya.

Baca selengkapnya......

21 April, 2010

Pelajaran ke tiga belas


‘An abdillahi bni ‘Amrawin ‘anin nabiyyi saw, qoola mal lam yarham shaghiranaa wa lam ya’rif haqqa kabiirinaa falaisa minnaa.(HR Abu Daud)

Artinya :
Dari Ibnu Sarhi ra, bahwa Rasulullah saw telah berkata : Bahwa barang siapa tidak sayang dan kasihan kepada orang yang kecil diantar kita dan dan tidak mengenal kepada hak-haknya orang besar diantara kita, maka ia bukanlah dari kami. (Abu Daud).

Penjelasan.
Dalam hadits ini diterangkan sebuah peraturan yang sangat berharga tentang perhubungan diantara satu sama lain. Dalam dunia ini sebagian besar dari kerusuhan-kerusuhan dan pertikaian-pertikaian disebabkan oleh karena orang-orang besar tidak berlaku kasih sayang terhadap orang-orang kecil dan demikian pula orang-orang kecil mengabaikan memberi hormat yang sewajarnya kepada orang-orang yang besar dan demikianlah timbul pergesekan yang tidak menyenangkan diantara satu tingkatan dengan lain tingkatan. Disatu segi islam mengakui hak persamaan baik tiap-tiap manusia dalam memperoleh jabatan-jabatan pemerintah dan mempergunakan sumber kekayaan dan dilain fihak dengan mengadakan suatu jembatan yang kokoh diantara berbagai tingkatan sosial masyarakat, dari satu segi dengan kasih sayang dan disatu pihak dengan hormat dan sopan santun, islam mengikat dan mempersatukan semuanya kedalam satu rangkaian saja. Orang-orang yang telah berhasil mendapat kesempatan untuk lebih maju dari orang lain dalam perjuangan hidup ini, mereka diperintahkan untuk berlaku dengan sifat kasih sayang terhadap orang yang tertinggal dibelakang, selama mereka masih ketinggalan. Mereka yang ketinggalan, mereka diperintahkan untuk besikap dengan beradab dan hormat yang sewajarnya kepada mereka yang telah maju lebih dulu selama mereka lebih dulu maju. Dengan jalan petunjuk yang sangat tinggi nilainya ini, Rasulullah saw. telah mencabut akar segala pergeseran-pergeseran yang tidak pantas diantara berbagai tingkatan dalam suatu masyarakat. Akan tetapi sangat disayangkan bahwa hanya sedikit orang yang mengikut kepada pelajaran ini. Bila seseorang karena suatu sebab telah memperoleh suatu kekuasaan, kemudian dia dihinggapi takabbur dan sombong dan ia ingin menekan dan menghancurkan orang-orang yang dibawahnya, dan kalau seseorang karena suatu sebab ketinggalan dalam perlombaan hidup ini, kemudian ia termakan oleh hati hasud dan dengki dan ia berusaha menjatuhkan dan membinaskan kepada mereka yang telah maju kedepan lebih dari dia. Kedua orang yang seperti ini sangat jauh dari pelajaran islam yang berisikan kejujuran.

Sesungguhnya islam sama sekali tidak menimbulkan tingkatan-tingkatan, akan tetapi perbedaan-perbedaan sementara yang terjadi dengan sendirinya, sebagi akibat yang sewajarnya dari bermacam-macam kekuatan otak dan gaya perjuangan dari setiap orang, ketika belum dapat dibereskan dengan cara-cara dan ikhtiar-ikhtiar yang seharusnya seperti itu. Islam tidak menutup mata terhadap kenyataan-kenyataan itu yang dengan tidak menghiraukan kepadanya, bahkan islam memperhatikan kepadanya untuk meniadakan hasil-hasil dan akibat –akibat yang tidak menyenangkan itu dengan cara-cara yang inisiatif yang sepantasnya. Dan sabda yang mubarak ini dari beliau saw. adalah sebagian dari ikhtiar-ikhtiar itu juga. Selanjutnya islam menganjurkan dengan jelas, bahwa segala perbedaan seperti itu adalah bersifat sementara saja dan suatu golongan yang pada hari ini adalah dalam tingkatan bawahan, dengan memperoleh kemajuan pada hari esok ia dapat menduduki tingkatan atasan juga, Dalam Alqur’an Allah swt berfirman: “ laa yashar kaumun min kaumin ‘asaa ayyakuna khaeran minhum ( 49:12) Artinya, janganlah segolongan kamu memperolokkan (menghinakan) kepada segolongan yang lain, sebab boleh jadi mereka lebih baik dari kamu,”
Yakni dalam masyarakat tidak boleh segolongan menganggap hina dan rendah kepada golongan yang lain, sebab mungkin golongan yang dianggap rendah dalam masa depan dapat memperoleh kemajuan yang lebih tinggi dari pada yang lain-lain juga.
Harus diperhatikan disini, bahwa perkataan “shagiir” ( yang kecil) dan ‘kabiir’ (yang besar) yang dipergunakan dalanm hadits ini, menurut peribahasa arab, perkataan seperti ini dimasukkan untuk segala macam yang kecil dan segala yang besar, walaupun perbedaan-perbedaan kecil dan besar itu adalah berasal dari pengaruh, kekuatan, bawahan dan atasan, kekayaan, kekeluargaan atau umur juga. Perbedaan itu walaupun dari sudut apapun juga, tiap yang besar diperintahkan untuk berlaku kasih sayang terhadap yang lebih kecil dari dia, dan setiap yang kecil diperintahkan untuk berlaku hormat dan beradab sopan santun yang seharusnya terhadap yang lebih besar dari padanya. Maka tentang orang yang tidak berbuat demikian Nabi Muhammad saw bersabda: “falaisa minnaa artinya : maka ia bukan dari kita..”

Baca selengkapnya......

Pelajaran ke dua belas


‘An Thaariqi bni Syihaabin ra, anna rajulan saalan nabiyya (saw) waqod wadho’a rijlahuu fil garzi, ayyul jihaadi afdholu, qoola kalimatu haqqin inda sulthonin jaabirin (HR Nasai )
Artinya:
Dari Thariq bin syihab ra., bahwa sekali peristiwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi saw ketika beliau saw sedang memasukkan kakinya dalam Sanggurdi, ya Rasulullah saw. manakah jihad yang paling mulia, Rasulullah saw menjawab: Perkataan yang benar dihadapan Raja/ penguasa yang berlaku tidak adil. ( H. R Nasai)
Penjelasan:
Disisi lain islam memberi perintah kepada orang islam, bahwa mereka harus menjadi contoh yang sebaik-baiknya dalam keitaatan kepada Amir atau hakim, dan harus mendengarkan kepada perintah-perintahnya dengan penuh perhatian dan melaksanakannya dengan senanghati. Disisi lain islam mewajibkan juga kepada orang-orang yang dipimpin/ma’mun, bahwa kalau Amir/pemimpin itu tersesat dari jalan keadilan dan berlaku zalim, kemudian meraka ma’mum/yang dipimpin mempergunakan keberanian akhlak atau dengan memberi musyawarah yang baik kepada Amir/pemimpin tersebut, begitu juga mereka berusaha memperbaiki cara-cara atau sikap yang tidak adil dari seorang Raja/penguasa itu untuk menegakkan keadilan dan kejujuran dalam negeri itu. Dan dengan memberi musyawarah kepada penguasa/pemimpin yang sesat dan itu memerlukan keberanian yang luar biasa, bahkan kadangkala sangat berbahaya, maka untuk perbuatan ini Rasulullah saw menamakan kepada usaha yang penting ini sebagai jihad paling tinggi (paling afdhol).
Sesungguhnya Islam telah memberikan perimbangan yang begitu baik diantara hak-hak penguasa/pemimpin dan hak-hak yang dipimpin atau antara pemerintah dan rakyat, sehingga tidak dapat lagi membuat peraturan yang lebih tinggi dari itu, yaitu demikian :

1. Bahwa dengan tidak membedakan bangsa atau golongan, islam memberi petunjuk, supaya jabatan-jabatan pemerintah, mulai jabatan yang tertinggi sampai kepada bawahan harus diserahkan kepada ahlinya, seperti Firman Allah swt:
“tuaddul amanati ilaa ahlihaa wa idsa hakamtum bainannaasi antahkumu bil adli”
Yang artinya:
Serahkanlah amanat/jabatan kepada ahlinya (yang mahir dan mampu) dan apabila kamu menjadi hakim diantara manusia, maka memerintalah dengan benar adil (4:59)
2. Islam memberi petunjuk, bahwa orang-orang wajib itha’at kepada pemimpinnya atau hakimnya dengan sesempurna-sempurnanya dan memperhatikan kepada perintah-perintahnya dengan penuh perhatian dan melaksakannya dengan senang hati
3. Islam memberi petunjuk, bahwa jikalau ada seorang hakim/pemimpin yang menyimpang dari cara keadilan dan kejujuran, maka orang-orang yang dipimpin berkewajiban berusaha untuk memperbaikinya dengan jalan memberikan musyawarah yang baik pada waktu yang tepat, sesuai kondisi daerah. Musyawarah seperti ini termasuk jihad yang tinggi nilainya.
Tetapi oleh karena keadaan sebagian orang bawahan mengaku merasa mengambil langkah yang salah tidak melakukan apa-apa, karena terdorong oleh perasaan menghormati diri atau tergesa-gesa atau iri hati yang tidak pada tempatnya. Atau sakit hatinya maka sebagaimana Musa as. harus berlaku pada Fir’aun, Allah swt berfirman kepada Nabi Musa as. : faquulaa lahu qaulal llayyinaa, (20:46), artinya : maka katakanlah kepadanya perkataan-perkataan yang lemah-lembut. Demikian pula islampun memberi pelajaran, bahwa dalam kejadian seperti itu, tidak boleh sekali-kali dipergunakan cara-cara yang bertentangan kesopanan atau bersifat kurang ajar atau menyerupai pemberontakan. Bahkan sebagaimana telah dijelaskan dalam hadits yang lain, bahwa kalau sebagian keaniayaan-keaniayaan dapat ditahan dengan kesabaran itulah yang lebih baik supaya keamanan negeri dan persatuan bangsa tidak terancam dan demikianlah pelajaran yang bersifat sedang dan penengah yang dapat dijadikan sebagai asas untuk keamanan dunia.
Sangat disayangkan, bahwa dalam zaman sekarang ini dari pada memberi musyawarah yang baik kepada orang-orang atasan, hakim atau kepala dan mendirikan mereka atas keadilan dan kejujuran, kebanyakan orang mempergunakan cara-cara yang menyesatkan dan tidak beradap pada orang-orang atasan atau pimpinan itu. Disatu fihak dengan cara-cara menjilat yang bohong dan dilain fihak dengan perantaraan memberi uang suap (sogok) mereka senantiasa menyebabkan kehancuran dan keruntuhan akhlak dan sifat-sifat keadilan dari pemimpin-pemimpin itu, padahal Rasulullah saw melaknat kedua-dua orang itu yang memberi atau yang mengambil uang suap atau sogok itu dan dalam suatu hadits lain beliau saw. bersabda : Ar rasyiu wal murtasyu kullu huma fin naari, Artinya : orang yang memberi suap atau orang yang mengambil uang suap keduanya akan dimasukkan kedalam api, semoga negara-negara islam dapat lepas dari laknat ini.

Baca selengkapnya......

Pelajaran ke sebelas


‘Anibni Umara ra qola : sami’tu Rasulallah saw yaqulu ‘alal mar’il muslimi a ssam’u wa tho’atu fii maa ahabba wa kariha illa ayyu’mara bima’shiyatin fain umira bima’shiyatin fala sam’a wa laa tho’ata ( HR Bukhari )

Artinya :
Diriwayatkan oleh Abdullah ibnu Umar ra. Berkata, bahwa saya telah mendengar dari Rasulullah saw berkata, adalah wajib atas setiap muslim untuk mendengar dan ta’at ( kepada pemimpin) dalam segala hal, disukai atau tidak disukai, kecuali bila dia diperintahkan yang berlawanan dengan perintah yang telah ada (yang dari Allah dan Rasul-Nya) dan bila ia diperintahkan untuk berbuat maksiat (pelanggaran), maka ia tidak perlu mendengar dan ta’at kepadanya. (H Bukhari)

Penjelasan hadits:

Hadits ini menjelaskan suatu peraturan dasar dari sifat taat menurut ukuran dan ajaran islam. Islam adalah agama yang sangat teratur dan berdisiplin dan tidak setuju memaksa seseorang masuk kedalam islam dan bahkan mengumumkan dengan jelas, laa ikraha fi diin,(tidak ada paksaan pada agama islam). Tetapi bila seseorang dengan kemauan dan kerelaan serta keikhlasan sendiri menganut masuk agama islam, kemudian Agama islam mengharapkan supaya ia ta’at dan disiplin sesuai dengan sifat dan kehormatan suatu bangsa dan golongan yang mengikuti aturan. Agama islam menghendaki supaya setiap pemeluknya menjadi contoh dari keita’atan yang sempurna dan islam tidak mengizinkan untuk menolak dan mengabaikan perintah amirnya/pemimpinnya dan mengikuti hanya yang disukainya dan menolak menerima apa yang tidak disukainya. Maka kata ‘dengarkanlah dan ta’atlah’ adalah seruan islam yang abadi. Bagi seorang muslim, dalam peraturan ita’at ini, hanyalah satu pengecualian ialah, kalau dia diperintahkan sesuatu yang jelas-jelas bertentangan dengan perintah Allah dan rasulNya yang sudah ada, demikian juga perintah dari seorang atasan, selain dari itu tidak ada pengecualian selain ia harus ta’at pada peraturan ‘dengarlah dan ta’atlah’ pada apa yang telah ditetapkan itu.
Dalam hadits ini sebelum perkataan ‘atta’at’(patuh) ditambahkan perkataan ‘as sam’u’ yang menunjukkan suatu hikmah yang mendalam. Bahwa seorang muslim tidak boleh hanya ta’at secara negatip saja, atau dia hanya ta’at pada perintah yang telah diterima dan yang lain tidak, bahkan dia harus menjadi contoh ita’at yang positip dan bersemangat pula. Yaitu ia harus senantiasa giat dan berdaya upaya untuk mendengarkan segala perintah dan anjuran pimpinan, supaya ia dapat mengikuti kehendak pimpinan dengan tepat dan cepat. Bila ia tidak berlaku demikian, hanya ta’at dan mengikuti saja, maka perkataan atha’at pun sudah cukup tidak perlu ditambahkan perkataan as-sam’u, maka penambahan kata sam’u disini bermaksud sebagai ganti dari attha’at yang bermakna tidak keta’atan saja, tapi haruslah ditegakkan ketaatan dengan semangat yang sungguh-sungguh. Maka kesimpulan cara dan aturan itaat dalam ajaran islam adalah :
1. Dalam tiap-tiap perkara ta’atlah kepada perintah pimpinanmu, walaupun perintah itu disukai olehmu atau tidak.
2. Dengarkanlah apa kata pimpinanmu dengan hati senang, supaya kamu jangan sampai ketinggalan dalam keitaatan kepada satu perintahnya.
3. Akan tetapi kalau pimpinanmu memberikan suatu perintah yang jelas-jelas bertentangan dengan satu perintah yang telah ada dari Allah swt dan RasulNya saw. atau satu perintah pimpinan yang lebih tinggi dari pada perintah pimpinan itu, janganlah taat padanya.

Baca selengkapnya......

16 April, 2010

Pelajaran ke sepuluh


‘An Anasin ra qola: qola Rasulullah saw, unshur akhaaka dzaaliman au madzluuman qooluu ya Rasulallah haadsa nanshuruhu madsluuman fakaifa nanshuruhu dzaaliman qola ta’khudsu fauqo yadaihi.
( HR Bukhari )
Artinya :
Diriwayatkan oleh Anas ra. Bahwa Rasulullah saw. bersabda, bahwasanya tolonglah saudaramu muslim walau ia menganiaya ataupun dia dianiaya. Sahabat-sahabat bertanya, ya Rasulullah! Ini telah dimengerti kita akan menolong saudara yang dianiaya, tetapi bagaimana kita akan menolong orang yang menganiaya? Beliau saw. bersabda “ peganglah tangannya orang yang menganiaya dengan kuat”. ( HR Bukhari)
Penjelasan :

Hadits yang indah ini adalah satu kelompok dari pada filsafat persaudaraan dan filsafat akhlak yang sangat berharga. Dari sudut persaudaraan diterangka, bahwa seorang saudara muslim harus memberi pertolongan, biarpun ia menganiaya ataupun dianiaya. Persaudaraan bukanlah suatu hal yang dapat dilupakan atau diabaikan dalam keadaan apa saja. Seorang yang menjadi saudara kita, dia dalam segala keadaan patut mendapat pertolongan dari kita dan dengan dia menjadi dzalim atau madzlum bagaimanapun tidak merusakkan kepada hak-haknya ini. Bila dibandingkan dengan itu dari sudut filsafat akhlak dalam hadits ini diterangkan, bahwa biarpun kita berhadapan dengan saudara sendiri atau orang lain, tetapi kewajiban kita adalah senatiasa menjauhkan kejahatan dari dunia ini, dan menegakkan kebaikan. Kita tidak boleh berlaku aniaya kepada seseorang, oleh karena ia bukan saudara kita, begitupun kita tidak boleh membantu dan menolong dengan jalan yang salah kepada seseorang karena ia saudara kita. Haruslah diperhatikan disini, bahwa kedua-dua hal tersebut dalam lahirnya kelihatannya sangat bertentangan dan berlawanan dengan satu sama lain. Ialah karena saudara yang menganiaya itu tidak ditolong akan terputuslah tali persaudaraan, dan kalau saudara yang zalim itu ditolong akan sangat bertentangan dengan keadilan. Akan tetapi oleh Rasulullah saw kedua-dua jalan yang sejajar ini yang nampak kelihatan selamanya terpisah dengan satu sama lain, itu disambungkan ditengah-tengah dengan satu saluran penghubung dari hikmah dan kebijaksanaan dengan begitu rapi sehingga saudara-saudara itu semua menjadi satu jiwa dalam perjalananya. Beliau saw. mengemukakan, bahwa persaudaraan itu adalah satu ikatan yang suci, yang hendaknya jangan terputus dalam keadaan apapun juga. Seorang yang menjadi saudara kita, biarpun ia baik atau buruk, suci atau jahat, zalim atau mazlum tetaplah ia sebagai saudara kita, dan ikatan persaudaraan tidak dapat diputuskan bagaimanapun juga. Akan tetapi Allah swt menurut islam, tidak mengizinkan keaniayaan, dan memberi perintah supaya kita berlaku adil, biarpun terhadap musuh juga. Oleh karena itu kedua-dua perkara ini harus dipersatukan demikian, bahwa biarpun bagaimana keadaannya saudara itu harus ditolong, tetapi apabila saudara itu berbuat zalim, maka sifat dan cara pertolongan itu harus dirobah. Dan jika dia teraniaya atau mazlum maka kita harus ikut serta kepadanya untuk melawan si zalim/penganiaya itu. Dan kalau ia sendiri/orang zalim/penganiaya, kita harus mendekat kepadanya untuk menghalangi atau mencegahnya dengan kuat tangannya yang zalim/penganiaya itu. Dengan menghentikan tangannya kita harus berseru kepadanya : Hai saudaraku!, bagaimanapun keadaanmu aku senantiasa berdampingan denganmu, akan tetapi islam tidak mengizinkan berbuat aniaya, maka aku tidak akan membiarkan tanganmu maju untuk berbuat zalim/aniaya. Demikianlah suatu usul dan peraturan yang suci dikemukakan oleh Rauslullah saw. dalam hadits ini. Pikiran-pikiran yang dikemukakan sebahagian orang, bahwa dalam hadits ini yang dimaksudkan oleh Rasulullah saw. ialah, kalau saudaramu adalah mazlum/yang dianiaya. Kamu harus menolong kepadanya. Dan jikalau ia zalim/ yang menganiaya kamu harus menentang kepadanya. Ini sama sekali salah dan sama dengan mempermainkan kepada perkataan-perkataan yang penuh dengan hikmah, dan pengetian dalam hadits ini. Seandainya Rasulullah saw bermaksud demikian, kemudian dengan mudah beliau saw, dapat bersabda, bahwa bagaimanapun kamu harus melawan kepada kezaliman, biarpun itu dari musuhmu atau dari seorang saudaramu yang muslim juga. Tetapi beliau saw. Tidak berkata begitu. Malah kedua hal yang kelihatannya bertentangan satu dengan lainnya, oleh beliau saw, dipersatukan dalam sabda ini berupa satu pendirian dan peranggapan yang sangat halus dan tepat, demikian: 1. bagaimanapun keadaan saudaramu, dia berhak ditolong. 2. bagaimanapun keaniayaan/kezaliman harus dilawan. 3. kalau saudaramu berbuat zalim/aniaya haruslah engkau mendekati kepadanya untuk mencegah tangannya yang zalim itu dengan kuat supaya persaudaraanpun tetap terjaga dan kezaliman dapat dilenyapkan.
Demikianlah pendirian dan pengertian yang sempurna itu, yang 1400 tahun sebelum sekarang dari padang pasir tanah arabiah dikemukakan oleh Rasulullah saw. kepada dunia ini. Sehingga tiada satu bangsapun dari Amerika atau Eropa yang telah maju itu yang dapat sampai kepada ketinggian dan kesempurnaan pendirian ini. Malah mereka kalau mengikat tali persaudaraan, kemudian untuk memuliakan persaudaraan itu mereka membuat keaniayaan yang tidak terhingga dan kalau menurut pikirannya mereka berdiri untuk menghapuskan suatu keaniayaan kemudian mereka merobek-robek ikatan persaudaraan itu semua.

Baca selengkapnya......

Pelajaran ke delapan


‘An abi Saidin qola, : sami’tu Rasulallahi saw yaqulu man ra’a minkum mungkaran falyughayyiruhu biyadihi faillam yastati’ fa bilisaanihii fa illam yastati’ fa biqolbihii wa dsalika adh’aful iimaani ( H Muslim)

Artinya :
Diriwayatkan oleh Abu Said ra bahwa aku mendengar Rasulullah saw bersabda. Barang siapa dari pada kamu melihat suatu hal yang bertentangan dengan akhlak atau agama, maka hendaklah ia harus merobahnya dengan tangannya, tetapi jika dia tidak mampu maka ia harus berusaha merobah dengan lidahnya, dan jika dia tidak mampu juga maka dia harus berusaha merobah dengan hatinya ( berdo’a) dan inilah keadaan iman yang selemah-lemahnya.
Penjelasan :

Dalam hadits no 7 diatas telah dianjurkan untuk berjihad fisabilillah dan dikatakan pula bahwa seorang mu’min yang mukhlis harus senantiasa berjihad terus menerus dengan harta dan jiwa raganya.
Dari sekian banyak jalan berjihad, hadits ini menerangkan satu macam jalan berjihad, yang berhubungan dengan perbaikan suatu kaum, suatu keluarga, dan dirisendiri. Yang Mulia Nabi Muhammad saw menerangkan, bahwa kebanyakan kejahatan-kejahatan tentang agama dan akhlak tersebar oleh karena orang-orang tinggal diam saja melihat kejahatan itu dan tidak mengambil suatu tindakan dengan perkataan ataupun tindakan/usaha untuk memperbaiki hal itu. Sehingga akibatnya bukan saja lingkaran kejahatan semakin meluas, karena contoh yang buruk dari seseorang merusak pula kepada berpuluh-puluh orang lainnya, bahkan mengurangi pula rasa takut dan benci kepada kejahatan itu dari sanubari manusia, Setiap orang dengan mudah akan mengerti, bahwa selain dari peraturan hukum, hanya ada dua cara atau jalan yang besar untuk menghapuskan kejahatan dari masyarakat. Pertama. Ialah nasihat, dan pengawasan dari orang-orang baik dan suci, yang dapat menyebabkan perbaikan untuk banyak orang yang sangat lemah tabiatnya. Kedua, ialah rasa takut dan benci kepada kejahatan yang timbul sebagai hasil dari anggapan dan pendapat umum dari masyarakat kita dan hal ini juga dapat menghalangi orang-orang dari perbuatan-perbuatan jahat dan buruk. Misalnya, seorang anak yang mulai rusak oleh karena terjerumus dalam pergaulan yang buruk, akan dapat lepas dari keburukan itu dengan nasehat dan pengawasan yang tepat dari ayah dan ibu atau dari orang yang baik. Atau seorang yang mulai tertarik kepada suatu kejahatan tetapi pengaruh dan ketakutan pada masyarakat akan dapat mencegah dia dari pada perbuatan yang buruk itu dan dia dapat terjaga daripada bahaya itu. Demikian pula pengawasan dengan perbuatan dan nasehat dengan perkataan, kemudian juga do’a dari orang suci sangat berfaedah dalam perbaikan suatu keluarga atau suatu bangsa. Maka dalam hadits ini Rasulullah saw menyebutkan ketiga-tiga sebab dan ikhtiar untuk perbaikan, supaya dapat menutup jalan kejahatan dan membukakan jalan kebaikan didalam kalangan orang-orang beriman. Dalam dunia ini banyak orang begitu malas, lalai dan tidak begitu menghiraukan, sehingga seorang keluarga teman atau kerabat atau tetangga mereka dihadapan mata mereka sendiri berbuat suatu perbuatan yang bertentangan dengan akhlak dan agama dengan terang-terangan akan tetapi mereka tidak mau bergerak atau merasa sidikit jugapun berfikir, bahwa tidak perlulah dengan jalan itu kita menggusarkan hati seorang sahabat atau keluarga atau mencari perselisihan dengan orang lain atau ikut campur dalam akhlak peribadi seseorang dan tinggal sama sekali diam dan tidak bergerak. Dihadapan mata mereka sendiri, kejahatan mulai berkembang, berakar, menjadi pohon-pohon yang raksasa, tetapi mereka tidak menghiraukannya sedikit jugapun. Orang-orang yang bodoh ini sama sekali tidak mau mengerti, bahwa api ini yang hari ini membakar, menghaguskan rumah tetangganya, esok hari api itu juga akan meluas dan berkobar untuk membinasakan rumah mereka sendiri.
Pendeknya Rasulullah saw. dengan hikmah dan kebijaksanaannya, yang sangat tinggi itu telah mengatakan, bahwa janganlah kamu tinggal duduk diam dan menonton saja kepada api dosa dan kejahatan yang ada disekelilingmu, melaingkan kamu haruslah lebih dahulu menyelamatkan rumah tetanggamu dan kemudian rumahmu sendiri juga dari kebinasaan dan bahaya api itu. Beliau saw. telah memberikan jihad dan daya upaya untuk tabligh dan tarbiyat ini dalam 3 tingkatan :
Pertama, ialah kalau manusia itu berkuasa, ia harus mencegah kejahatan itu dengan tangannya sendiri.
Kedua, ialah kalau ia tidak berkuasa mencegah kejahatan dengan tangannya, maka dia harus berusaha menghalangi dengan nasihat dari ucapannya.
Ketiga, kalau ia tidak berkuasa dengan lisan, maka ia harus menghalangi dengan usaha qalbu (do’a) saja.

Pada tempat ini mencegah dengan tangan sama sekali tidak bermaksud dengan pedang atau paksaan atau kekerasan yang dijalankan terhadap orang lain yang tidak ada hubungan, melakukan dengan tangan, hanya bermaksud, bahwa kalau seseorang mempunyai keadaan atau kedudukan bahwa ia dapat menjauhkan suatu kejahatan dengan kekuatan atau pengaruh tangannya, maka ia berkewajiban menunaikan hal itu. Misalnya, bila seseorang Ayah melihat anaknya berbuat buruk atau seseorang atasan melihat bawahannya, atau seorang majikan melihat pembantunya berbuat kejahatan, maka dia berkewajiban dengan perantaraan kekuasaannya atau dia menghalangi dengan lisan, memberi nasehat atau memberi peringatan seperlunya menurut keadaan untuk berhenti dari kejahatan itu.
Dan perbaikan dengan perantaraan qalbu, bukan bermaksud bahwa berdiam saja dengan anggapan biar keburukan itu hilang, karena Rasulullah saw, telah menggunakan perkataan ‘ menghalangi atau merobah dengan perantaraan qalbu’ dan maksud perkataan ini bukan sama sekali bahwa cukup dihati mengatakan itu perbuatan buruk saja, maka menghalangi dengan perantaraan usaha qalbu bermaksud berdo’a dengan qalbu, yang adalah suatu jalan yang mujarab untuk suatu perbaikan. Maksud sabda Rasulullah saw dalam hadits ini, ialah seorang yang tidak dapat mencegah menjalarnya kejahatan dengan tangan dan pula ia tidak mampu untuk menghalangi kejahatan itu dengan lisannya, maka sekurang-kurangnya dengan perantaraan do’a dari qalbunya haruslah ia berusaha untuk perbaikan itu. Sabda Rasulullah saw yang mengatakan, bahwa menghalangi suatu kejahatan hanya dengan perantaraan qalbu saja, adalah semacam keadaan iman yang paling lemah, bermaksud, bahwa merasa cukup hanya dengan do’a dari qalbu saja adalah suatu kelemahan. Seorang mujahid yang hakiki ialah yang bersama-sama dengan do’a dari qalbunya, ikut berikhtiar pula dengan cara-cara yang nampak yang dijadikan oleh Allah swt. seorang yang merasa cukup hanya dengan do’a saja tidak berikhtiar dengan jalan perbuatan nyata, untuk menghalangi/mencegah suatu kejahatan, ia sebenarnya kurang memahami kepada filsafat tentang perbaikan nafsu yang ada pada manusia. Memang do’a mempunyai kekuatan yang sangat besar, tetapi do’a yang betul-betul mustajab/terkabul, ialah yang disertai pula dengan ikhtiar/inisiatip-inisiatip yang nyata, supaya manusia tidak hanya dengan ‘ucapannya’ saja, tetapi juga dengan ‘perbuatannya’ dapat menarik kepada karunia ilahi.
Maka semua orang yang sebenar-benarnya islam, haruslah mengingat kepada perintah Rasulullah saw. yang sangat indah itu, yakni kalau ada seseorang yang berbuat kejahatan dihadapan mata mereka adalah salah satu dari keluarga mereka, teman-teman atau bawahan mereka, maka mereka harus mencegah dengan tengannya sendiri. Tetapi kalau mereka tidak berkuasa untuk menghalangi dengan tangannya sendiri terhadap orang yang berbuat kejahatan itu atau malah mencegah dengan tangan itu dapat menimbulkan fitnah, maka mereka selanjutnya harus berusaha untuk menghalangi dengan nasehat dari lisannya. Seandainya oleh karena kelemahan hati atau ketakutan akan timbul fitnah, mereka tidak berkuasa untuk menjalankan kedua hal itu, maka untuk menghapuskan kejahatan itu sekurang-kurangnya mereka harus berdo’a dengan khusyu’ yang sebetul-betulnya dalam hati mereka.
Untuk kebaikan suatu bangsa atau keluarga atau perseorangan inilah cara yang sangat bermamfaat dan menyenangkan dan sekiranya orang-orang islam betul-betul menjalankan amal ini, maka dalam waktu yang singkat, keadaan negeri akan dapat berobah menjadi baru. Akan tetapi orang-orang yang menonton kepada pemandangan dan terus melihat kejahatan kesana-kemari dengan asyikya tidak berbuat apa-apa justru menikmatinya, yang demikian itu tidak dapat dianggap ia sebagai islam sejati.

Baca selengkapnya......

Pelajaran ke-sembilan


‘An Annasin qola, qola Rasulullah saw, walladsi nafsi biyadihi, laa yu’minu ahadukum hattaa yuhibba liakhihi maa yuhibbu linafsihi
( H.R. Bukhari)
Artinya :
Diriwayatkan oleh Anas ra. Bahwa Rasulullah saw. bersabda, Demi Dzat yang memegang jiwaku, sesungguhnya tiada seorangpun yang dapat menjadi mu’min yang sebenarnya, sehingga ia belum menyukai bagi saudara-saudaranya apa-apa yang ia menyukai bagi dirinya sendiri.
( HR Bukhari )

Penjelasan :

Hadits ini mengemukakan tingkatan kedudukan yang sebenarnya dari persaudaraan secara islam. Terlebih dahulu Al-quran menuturkan bahwa semua orang islam adalah sebagai saudara kepada satu dengan lainnya, seperti bunyi Firman Allah swt: Innamal mu’minuuna ikhwatun, yakni : sesungguhnya orang-orang mukmin itu adalah sebagai saudara. Kemudian Rasulullah saw. bersabda, seperti bunyi hadits ini, untuk menjelaskan tingkatan dan harkat yang sangat tinggi dari persaudaraan menurut islam, Beliau saw. menerangkan dan dengan persumpahan atas nama Allah, bahwa tanda dan tingkatan dari persaudaraan orang-orang mukmin ialah apa yang disukai oleh seorang muslim bagi dirinya sendiri, hal itu pulalah yang disukai olehnya untuk saudaranya yang lain juga. Dengan kata yang pendek ini, beliau saw. se-olah-olah mencabut semua akar dari perasaan sebagai lain ‘orang asing’ dan ‘ jarak’ sesama orang islam dan menjadikan mereka bersatu jiwa. Tetapi sangat disayangkan, bahwa dalam zaman sekarang kebanyakan orang karena dihinggapi penyakit nafsi-nafsi ( mementingkan diri sendiri) mereka senantiasa berusaha mengumpulkan segala keuntungan bagi dirinya sendiri dan merugikan orang lain untuk berbagai keuntungan dirinya. Perihal orang yang demikiannlah Allah swt berfirman :

Waelullil mathofifiin, alladsiina idsa ktaluu ala nnasi yastaufuun wa idsaa kaaluhum au wazanuuhum yuhsiruun alaa yazunnu ulaaika annahum mabe’udzuun liyaumin ‘adziim
Artinya :
Celakalah orang-orang yang mengurangkan apabila mengambil ukuran dari orang-orang lain, diambilnya sepenuhnya dan apabila mereka memberi ukuran atau timbangan kepada orang lain kemudian dikuranginya, apakah mereka ini tidak mengetahui, bahwa mereka akan dibangkitkan. (83 : 2-5)

Penyakit mementingkan diri pribadi ini dicabut hingga ke akar-akarnya oleh islam dan memberi perintah, bahwa tiap-tiap orang islam yang sebenar-benarnya berkewajiban, bahwa apa-apa yang dia kehendaki bagi dirinya sendiri demikian pula ia harus menghendaki bagi saudaranya juga. Ini sama sekali tidak bermaksud bahwa hak-hak istimewa yang ditetapkan oleh syari’at islam untuk anggota-anggota keluarganya yang dekat itu harus ditinggalkan. Misalnya, seorang ayah mempunyai kewajiban menangguang keperluan hidup untuk anak-anaknya yang masih kecil, seorang suami berkewajiban memikul belanja istrinya dan anak-anak berkewajiban untuk mengurus betul-betul kepada orang tuanya yang telah tua renta atau tidak berdaya lagi. Begitupula syariat telah menetapkan hak-hak dan bahagian untuk ahli waris dari seorang yang telah wafat, bahwa istrinya, anak-anaknya, orang-orang tuanya, dan lain-lainnya dapat bagian yang telah ditetapkan, malah dianjurkan pula untuk memperhatikan anggota keluarga yang lain, tetangga, dan sahabat-sahabatnya juga. Maka hak-hak dan bagian-bagian yang telah ditetapkan ini pasti harus didahulukan, tetapi selain dari pada itu dalam hubungan dengan orang muslim, islam mengharapkan dari setiap orang muslim dengan tegas menyatakan bahwa apa yang dia sukai bagi dirinya bagitu pula harus ia sukai bagi saudara muslim lainnya, dan jangan sampai bagi dirinya ia mempunyai ukuran lain dari apa yang bagi orang lain. Dalam hadits lain Rasulullah saw. bersabda: bahwa orang-orang islam terhadap satu sama lain adalah seperti anggota badan manusia, apabila satu bagian anggota badan sakit maka seluruh badan manusia akan merasakan sakit juga, begitu pula dengan kesusahan seorang muslim seluruh muslimin ikut merasakan susah dan gelisah. Demikianlah tingkat yang tinggi dari persaudaraan, yang dikehendaki oleh Rasulullah saw. dari kita, semoga kita dapat menghargai pelajaran ini.

Baca selengkapnya......

11 April, 2010

Pelajaran ke tujuh


Diriwayatkan oleh Hadhrat Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah saw. barsabda Bahwasanya barang siapa beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan mendirikan sholat dan berpuasa dalam bulan Romadhan adalah seolah-olah hak diatas Allah untuk memasukkan orang itu kedalam sorga, biar dia berjihad didalam jalan Allah atau ia duduk didalam rumah dimana ia dilahirkan. Bekata sahabat-sahabat ya Rasulullah bolehkah kami sampaikan kabar suka ini kepada orang-orang lain ? Beliau saw bersabda, bahwasanya dalam sorga itu ada seratu derajat yang disediakan oleh Allah swt kepada orang-orang yang berjihad didalam jalan Allah swt, perbedan diantara dua derajat adalah seperti perbedaan diantara langit dan bumi. Maka apabila kamu meminta sorga kepada Allah, maka mintalah derajat sorga firdaus, sesungguhnya itulah derajat yang paling sedang dalam sorga dan ada lagi derajat yang paling tinggi dalam jannah adalah sorga Arasy dari Arrahman dan dari padanya memancarlah sungai-sungai dari sorga.(H R Bukhari)

Penjelasan :
Ini adalah satu hadits yang agak panjang. Karena hadits ini menerangkan kepada kita beberapa hal yang sangat penting, sangat berguna dan mengenai pelajaran mendasar, sebagai berikut:

1. Bahwa dalam sorga ( janna) tidaklah hanya satu derajat saja, melaingkan banyak derajat-derajatnya dan yang paling tinggi diantara itu ialah derajat surga firdaus, yang adalah sebagai sumber dari segala sungai-sungai yang ada disurga.
2. Bahwa dalam jannah/sorga, perbedaan diantara derajat yang terendah derajatnya dari seorang Muslim dengan derajat yang setinggi-tingginya dari seorang muslim yang qaa’id, adalah seperti perbedaan diantara langit dan bumi.
3. Bahwa orang islam bukan saja harus berusaha untuk memperoleh derajat yang disediakan untuk orang-orang mujahid malah derajat dia harus berusaha meraih sorga yang setinggi-tingginya untuk orang mujahid yaitu, hendaklah sorga firdaus dijadikan maksudnya.
4. Bahwa berbagai-bagai derajat dalam surga ditetapkan menurut kedekatan pada Allah swt oleh karena itulah derajat yang paling tinggi dalam jannah adalah yang terdekat pada Arasy Ilahi.
5. Bahwa nikmat janna bukanlah terdiri dari benda-benda melaingkan rohani juga, karena tingkatannya ditetapkan menurut kedekatan kepada Allah swt. walaupun dalam nikmat itu beserta ruh tapi adapula bagian jidsimnya, akan tetapi dalam jannah jisim manusiapun adalah secara rohani juga, oleh karena itu nikmat-nikmat jasmani yang ada disitu sesungguhnya menurut tingkatan kerohaniaanya sama sekali akan bersih dan suci.

Demikianlah ilmu-ilmu yang mendalam ini yang kami terima dari hadits itu. Kehendak dari pada sabda Rasulullah ini ialah supaya tujuan dan cita-cita orang islam dipertinggi dengan setingggi-tingginya. Seorang islam yang dengan niat ikhlas hanya menjalankan hukum-hukum islam tentang sholat dan puasa ( dalam hadits ini tidak disebutkan tentang Hajj dan Zakat, karena ibadah ini hanya wajib bagi orang islam yang mampu dan mempunyai syarat-syaratnya. ) tetapi duduk dirumahnya sebagai qaa’id saja, memang ia dapat terhindar dari kemurkaan Allah swt, tetapi ia tidak dapat memperoleh nikmat-nikmat yang tinggi yang membawa manusia kepada qurb ilahi yang istimewa. Maka orang-orang mukmin yang betul-betul menghendaki kemajuan, mereka berkewajiban meninggalkan kehidupan seperti yang tinggal duduk dirumah dan harus mempunyai kehidupan seperti mujahid-pejuang, serta siang malam berusaha untuk mengkhidmati agama Allah, dan ummat Rasulullah saw. Sebenarnya ummat muslim yang duduk berdiam diri dirumah saja atau yang pengaruh dan mamfaat untuk agama dan imannya hanya terbatas sampai di dirinya saja, ia bukan hanya ketinggalan saja dari nikmat-nikmat yang tinggi itu, malah ia berada dalam suatu bahaya yang senantiasa mengancam kepadanya, dan boleh dikatakan ia betul-betul berdiri ditepinya saja dan kelemahan yang sedikit saja dapat menjatuhkan dia dari tempat kelepasan itu serta terjerumus dalam siksaa. Tetapi seorang muslim yang mujahid-yang berjuang untuk agama, mereka sama sekali terjaga dari bahaya seperti itu.
Ada lagi satu pertanyaan, bahwa bagaimana cara-caranya untuk menjadi mujahid fi sabilillah itu? Maka meskipun jihad fisabilillah ada berpuluh-puluh cabangnya, akan tetapi Al-qur’an telah lebih memetingkan kepada dua cabang, sebagaimana firmanNya: Fadhdhalallahu mujahidiina biamwalihim wa amfusihim ‘alal qaaidina darajatan (4 : 96 )Artinya : Allah melebihkan orang-orang yang mujahid dengan harta bendanya dan jiwa mereka atas mereka yang duduk dalam derajatnya.
Firman Allah swt ini menunjukkan, bahwa jalan yang terbesar untuk jihad ialah dengan harta benda dan jiwa. Jihad dengan harta benda ialah membelanjakan harta benda dengan sebanyak-banyaknya untuk penyiaran, kemajuan, dan kekuatan islam. Jihad dengan jiwa ialah membelanjakan waktunya yang sebanyak-banyaknya untuk mengkhidmati agama ( tabligh dan tarbiyat) dan apabila dia diperlukan tidak sayang untuk mengorbankan jiwanya juga. Barang siapa yang dengan rela mengambil bagian dalam dua macam jihad ini, ia dianggap pantas untuk memperoleh nikmat yang tinggi itu yang telah disediakan untuk seorang mujahid. Akan tetapi orang-orang yang menjalankan sholat dan puasa dengan duduk dirumah saja, mereka tidak dapat mengharapkan suatu pengampunan dan kelepasan lebih dari pada untuk yang qaa’id itu.
Sekarang perhatikanlah, betapa kasih sayangnya junjungan kita nabi Muhammad saw terhadap kita, seperti seorang ayah yang sangat penyayang, yang untuk itu beliau saw bersabda : Bahwa benar dengan menjalankan sholat dan puasa kamu akan memperoleh ganjaran dan akan terjaga dari siksaan neraka, akan tetapi kamu harus bercita-cita yang tinggi dan berusaha untuk memperoleh nikmat-nikmat yang telah disediakan bagi seorang mujahid fisabilillah itu, karena bila tanpa itu kehidupan suatu kaum akan senantiasa terancam untuk selamanya. Dalam hal ini kewajiban yang terutama yang terbesar adalah terletak kepada ibu bapak, kemudian kepada guru-guru pendidik dan para maha guru, supaya mereka mendidik dan membangkitkan semangat mujahid ( yang berjuang terus) dari mulai masa kanak-kanak dan jangan mereka sampai biasa dalam kehidupan sebagai qa’id (yang duduk-duduk saja).

Baca selengkapnya......

09 April, 2010

Pelajaran ke enam


‘An Abi Hurairata ra qola: qola Rasulullah saw, Inna Llaha laa yansuru ilaa shuwarikum wa amwaalikum wa laakin yansuru ilaa quluubikum wa a’maalikum ( H Muslim)

Artinya :
Diriwayatkan oleh Abu Huraerah ra. Bahwa Rasulullah saw bersabda, bahwasanya Allah swt tidak memandang kepada rupamu, dan harta bendamu, akan tetapi Dia melihat kepada qalbumu dan amalmu. (Muslim)

Penjelasan.
Dalam hadits ini Nabi Muhammad saw menceritakan dua hal, yang walaupun adalah sebagai nikmat dari Allah swt kadangkala menyebabkan pula ujian yang hebat bagi laki-laki dan perempuan.



Satu diantaranya ialah kebagusan dan kecantikan badan yang umumnya menjadi pokok ujian bagi wanita. Dan yang kedua ialah harta benda yang umumnya menyeret kaum laki-laki kedalam jurang kehinaan. Dengan mengemukakan kedua hal tersebut diatas sebagai contoh, Junjungan kita Nabi Muhammad saw. Bersabda bahwa kedua hal tersebut diatas adalah sebagai nikmat dari Allah swt, tetapi orang islam haruslah berhati-hati, bahwa untuk menguji harga dan martabat seseorang manusia, Allah swt tidak memandang kepada kecantikan seorang wanita atau kekayaan seorang laki-laki, melaingkan hanya memandang kepada hati dan otak/pikiran mereka, yang adalah pokok dan sumber dari pikiran dan perasaan manusia. Baru kemudian Allah melihat kepada amal-amalnya yang nampak sebagai hasil dan akibat dari pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan itu.
Dalam hadits ini ada kata “ qalbu” yang bermakna, jantung dan otak kedua-duanya, yang dalam bahasa inggris dikatakan : “heart and mind “, karena menurut loghat kata Qalbu berarti suatu nokta (titik), markas ( pusat ) dari suatu aturan atau susunan, hati dan otak kedua-duanya adalah sebagai pusat dalam daerah masing-masing mereka dari susunan badan manusia. Otak adalah pusat dari perasaan lahir ( pikiran ) dan hati adalah pusat dari perasaan rohani (kerohanian ). Maka dengan mempergunakan perkataan ‘qulub’ dan ‘amal’ disini Yang Mulia Nabi Muhammad saw mengisyaratkan, bahwa walaupun kebagusan jasmani dan harta benda yang zahir memang adalah sebagai nikmat-nikmat dari Allah swt yang harus dihargai pula oleh manusia tetapi, barang yang dipandang oleh Allah swt ialah qalbu dan amal manusia. Oleh karena itu kewajiban setiap orang muslim ialah daripada ia membanggakan ketampanan dan kecantikan dan kekayaan dan nikmat-nikmat lain di dunia ini, sesungguhnya ia harus berusaha memperbaiki hati, otak dan amalnya sendiri.
Haruslah dicamkan pula, bahwa sabda Nabi Muhammad saw yang demikian ini, bahwa Allah swt memandang qalbu dan amal manusia, bukan hanya bermaksud bahwa dalam perhitungan hari kiamat saja baru akan diperhatikan dan ditimbang hal ini. Tetapi perkataan ini bertujuan pula mengisyaratkan bahwa dalam dunia ini juga kehendak hati, pikiran otak dan amal anggota-anggota badan mempunyai penghargaan dan kekuatan yang sebenarnya. Sesungguhnya kalau anggauta suatu kaum sudah mendapat kenikmatan ini, yakni hati, otak dan tangan serta kaki mereka sudah bekerja pada jalan yang sebenarnya, sehingga hasilnya tidak ada sesuatu kekuatanpun di dunia ini yang dapat menghalangi mereka dalam memperoleh kemajuan dan kenikmatan-kenikmatan lainnya.

Baca selengkapnya......

08 April, 2010

Pelajaran ke lima


‘An Umar ibni Khothab qola, sami’tu Rasulullah saw, yaquulu innamal a’malu binniyyati wa innama likullimriim maa nawa (H Bukhari)

Artinya :
Diriwayatkan dari Hadhrat Ibnu Khothab ra. Bahwa aku mendengar Rasulullah saw bersabda, bahwasanya amal itu dengan niat dan sesungguhnya tiap-tiap orang memperoleh ganjaran menurut niatnya. (Bukhari)

Penjelasan :
Hadits yang dalam maknanya ini, menerangkan dasar dan pokok tentang filsafat amal manusia.



Hal ini cukup jelas, bahwa amal-amal yang dalam zahirnya kelihatan baik pun ada beberapa macam. Misalnya, ada pekerjaan yang dikerjakan sebagai adat saja, ada juga yang dikerjakan hanya untuk meniru orang lain dan ada yang dikerjakan untuk ria/pamer dan untuk diperlihatkannya kepada orang lain. Tetapi Nabi Muhammad saw mengatakan bahwa semua pekerjaan yang seperti itu menurut islam tidak berarti dan tidak berfaedah sedikitpun. Amal yang suci ialah yang dikerjakan dengan niat yang ikhlas dan kemauan yang benar, barulah amal yang seperti ini yang patut mendapat pahala dari Allah swt. Sesungguhnya kalau suatu amal tidak dikerjakan dengan hati, lidah dan anggauta badan kaki dan tangan manusia, amal itu tidak berarti sedikitpun. Kalau hati mengandung niat yang benar dan lidah membenarkan niat itu, kaki dan tangan menjadi saksi dengan menjalankan pekerjaan itu, barulah amal kemudian akan dikabulkan oleh–Nya. Seseorang yang tidak mempunyai niat yang benar dalam hatinya ialah orang yang munafik. Kalau lidahnya tidak membenarkan niat itu dengan ucapan maka yang demikian itu orang penakut. Kalau kaki dan tangannya tidak bekerja menurut niat yang diucapkan oleh lidahnya, itulah orang jahat. Maka amal yang benar ialah yang disertai dengan niat yang benar pula. Dengan niat yang suci, amal duniawi yang sehari-hari itu dapat dirubah oleh manusia menjadi amal kerohaniaan yang tinggi nilainya. Nabi Muhammad saw bersabda pada tempat lain yang maksudnya, bahwa kalau seorang suami memasukkan sesuatu makanan kedalam mulut istrinya dengan niat bahwa Allah swt menghendaki supaya ia berbuat begitu, maka perbuatannya ini akan terhitung sebagai suatu kebaikan kerohanian bagi dia. Akan tetapi sangat disayangkan, bahwa beribu-ribu manusia dalam dunia ini yang mendirikan sholat hanya karena sejak kecil mereka telah biasa mengerjakan sholat saja. Dan beribu-ribu orang berpuasa hanya karena orang-orang sekeliling mereka berpuasa juga. Dan ribuan orang naik hajji hanya supaya orang memanggil hajji dan dipandang sebagi orang baik. Hadits ini dari Yang Mulia nabi Muhammad saw membatalkan segala amal seperti itu, dan sesuatu yang batal meskipun dalam kelihatannya baik, niscaya tidak akan mendapat ganjaran dari Allah swt, maka sebenarnya amal yang benar, ialah yang disertai pula dengan niat yang benar, dan demikian pula ganjaran suatu amal juga akan diberikan menurut niatnya juga.

Baca selengkapnya......

07 April, 2010

Pelajaran ke empat


‘An Abi Hurairah yaqulu: qala Rasulullah saw, innii aakhirul anbiyaa wa masjidi haadsa aakhirulmasjidi (HR Muslim)

Artinya :
Diriwayatkan oleh Hadhrat Abu Huraerah ra. Bahwa Rasulullah saw bersabda, bahwasanya aku adalah nabi yang akhir dan mesjidku ini (di Madina) adalah mesjid yang akhir pula.

Penjelasan.
Dalam hadits yang sangat dalam maknanya ini Rasulullah saw. bersabda bahwa aku adalah nabi yang penghabisan yang membawa syariat dan sesudahku tidak dapat datang seorang nabi yang dengan memansuhkan (membatalkan ) masa kenabianku yang dapat berdiri melawan aku untuk berdiri memulai suatu masa baru. Malah kalau seorang Muslih (reformer) akan datang, kemudian niscaya dia akan dibawahku dan menjadi pengikutku dan dia akan menjadi khadim syariatku, maka dia akan masuk dalam kenabianku dan bukan keluar dari itu. Untuk menjelaskan masalah yang sangat halus ini Rasulullah saw telah menambahkan perkataan, : Masjidi haasa akhirul masjidii, ya’ni masjidku ini adalah masjid yang terakhir. Sekarang akan menjadi jelas, bahwa perkataan tersebut sama sekali tidak bermaksud,. Bahwa dalam dunia ini tidak akan dibangun suatu mesjid lagi, memang bukti dan kejadianpun tidak demikian. Maka apa yang dimaksud dengan perkataan tersebut ialah, bahwa dimasa yang akan datang tidak akan dibangun suatu mesjid yang berlawanan dengan mesjidku ini, yakni seluruh mesjid yang akan dibangun nanti pasti akan mengikuti kepada masjidku ini dan akan menurut dan sesuai dengan bayangannya.
Demikian pula kalimat : Inni aakhirul ambiyaa, yang artinya, aku adalah nabi yang akhir, ini juga bermakna bahwa, tidak akan bisa ada datang seorang nabi yang diluar dari pengikut-pengikutku dan berdiri berlawanan dengan kenabianku. Bahkan kalau ada nabi yang akan datang pasti dia akan menjadi khadim-khadimku, murid-muridku dan bayanganku dan seolah-olah sebagai suatu bagian daripada diriku. Demikianlah pula filsafat yang dalam itu, yang diterangkan dalam Al-qur’an : “Khaataman nabiyyiin.” Camkanlah dengan sunggu-sungguh, bahwa kalau sesudah mesjid Rasulullah saw di Madina berdiri ratusan mesjid dinegeri-negeri lain dan tidak bertentangan dengan kalimat : “masjidi haadza akhirul masajidi”. Kemudian diperolehnya nikmat kenabian oleh seorang dari ummat nabi Muhammad saw yang adalah khadim, murid dan pengikut beliau saw, Bagaimanakah dapat dikatakan bertentangan dengan maksud kalimat : “Inni aakhirul ambiyaa” , Maka sudah jelas dari hadits ini bermaksud, bahwasanya aku adalah penghabisan Nabi yang membawa syariat dan sesudahku tidak dapat datang seorang nabi yang diluar murid dan ummatku, dan begitu pula mesjidku ini adalah penghabisan mesjid dan sesudah ini tidak ada suatu mesjid yang dapat dibangun bertentangan dan berlawanan dengan mesjidku ini. Bila kita simak dengan seksama maka akan nampak bahwa ketinggian kenabian beliau saw, bukanlah dalam anggapan yang demikian, bahwa beliau saw menutup nikmat-nikmat yang telah berjalan dari dahulukala, melainkan hanya dalam hal ini, bahwa saluran-saluran yang dahulu kala yang terpisah-pisah ditutup dan untuk yang akan datang semua pancuran dan saluran diterbitkan dari lautan yang luas dari beliau saw sendiri. Demikianlah penjelasan yang halus ini yang diberikan oleh ulama-ulama islam yang terkemuka dan mujaddid-mujaddid yang besar dalam tiap-tiap zaman, seperti Hadhrat Ibnu Muhyiddin Ibnu Arabi berkata : “ Annubuwwatillati inqotha’at biwujudi rasulillah shallalahu alaihi wa sallam, innama hiya nubuwwati tasyri’i.” ( Futuhat Makiyah) Artinya : Bahwa sanya kenabian yang tertutup dengan kedatangan diri Rasulullah saw sesungguhnya itu hanyalah kenabian yang mengandung syariat.
Hadhrat Imam Abdul Wahab Sya’rani berkata: Inna mutlakin nubuwwati lam tartafi’ wa innama artafa’at nabuwwatu tasyri’I” ( Al jawqitu wal jawahir). Artinya : Sesungguhnya sesudah Nabi Muhammad saw. tidak semua jenis kenabian tertutup dan yang ditutup ialah kenabian yang mengandung syariat saja.
Hadhrat Syeh Ahmad Sarhindi, mujaddid abab XI berkata dalam bahasa parsi, yang artinya : memperoleh kesempurnaan kenabian sesudah kedatangan khatamun nabiyyin Muhammad saw oleh pengikut-pengikutnya dengan jalan warisan taat kepada beliau saw. tidak berlawanan dengan khataman nubuwwat dan janganlah engkau menjadi diantara orang-orang yang ragu.( Maktubatul Ahmadiyyah)
Hadhrat Syah Waliullah Muhaddats Dahlawi rh, mujaddid abad ke XII, bersabda : “ Khutima bihin nabiyyuna ai la yujadu man laa yamurrullahu subhanahu bitasyri’I alan naasi” (Tafhimatil Ilahiyyah). Artinya : Habislah dengannya kedatangan Nabi-nabi itu hanya bermakna, bahwa seorangpun yang akan diperintah Allah untuk membawa syari’at baru bagi manusia.
Maka dengan tidak ragu-ragu lagi inilah pendirian dan I’tiqad yang betul dan sahih, bahwa segala sifat kenabian telah sempurna dalam diri Nabi Muhammad saw dan sesudah beliau saw tidak akan ada se-orang nabi melaingkan yang itu harus menjadi murid dan khadim dan pengikut beliau saw dan karena taat dan khidmat kepada beliau saw ia memperoleh kenikmatan kenabian itu. Alangkah bahagianya kalau orang-orang islam seumumnya dapat memahami hal ini

Baca selengkapnya......

06 April, 2010

Pelajaran Ketiga


Artinya :
Diriwayatkan oleh Jabir ra. Bahwa Rasulullah saw. bersabda, bahwasanya Allah swt telah menganugrahkan kepadaku lima hal keistimewaan yang tidak diberikan kepada seseorang nabi sebelumku, yaitu : pertama aku dianugrahkan kegagahan pengaruh sekitar daerah seluas sebulan perjalanan, kedua telah dijadikan bagiku seluruh bumi ini sebagai mesjid dan jalan untuk bersuci, ketiga telah dihalalkan bagiku harta benda hasil perang yang tidak dihalalkan bagi seorang nabi sebelumku, keempat aku telah dianugrahkan makam syafa’at disisi Allah swt., dan kelima sebelumku tiap-tiap nabi diutus khusus untuk bangsanya sendiri saja tetapi aku diutus untuk seluruh ummat manusia ( Bukhari)

Penjelasan.
Di dalam hadits ini diterangkan lima keunggulan yang istimewa dari pada Yang Mulia Rasulullah saw yang membuktikan kamuliaan Beliau saw. dan kasih sayang Allah yang luar biasa kepada Beliau saw. Keistimewaan yang pertama dari beliau saw.

Keistimewaan yang pertama dari beliau saw. ialah Beliau dikarunia oleh Allah swt. kegagahan pengaruh (ru’b) seluas wilaya perjalan sebulan. Dari sejarah islam memberi kesaksian yang sangat kuat, bahwa walaupun Nabi Muhammad saw ada dalam keadaan lemah dan miskin, tetapi setiap musuhnya sangat gemetar dari kegagahan yang Allah swt telah berikan kepada beliau saw. sehingga seringkali terjadi, bahwa musuh yang telah bersiap untuk menyerang Madinah, namun setelah ia mendengar bahwa Rasulullah saw walaupun dengan satu jemaah yang kecil akan mampu melawan, maka mundurlah musuh itu. Begitu pula ketika Rasulullah saw mengirimkan surat tabligh kepada seorang raja yang terbesar dalam zaman itu, yaitu Kaisar Roma dan setelah Kaisar mengetahui keadaan beliau saw raja itu berkata: kalau aku dapat bertemu dengan Nabi itu, aku akan menganggap diriku bahagia dengan dapat mencuci kaki beliau saw. saja.

Keistimewaan yang kedua dari Beliau saw. ialah bahwa seluruh bumi dijadikan sebagi Mesjid untuk beliau saw. oleh karena itulah seorang muslim dapat mengerjakan sholat dimana saja bila waktu sholat itu telah tiba dan seperti ummat-ummat lain ia tidak memerlukan suatu tempat yang khusus saja untuk sholat dalam keadaan itu. Kelonggaran yang semacam ini diperlukan supaya rencana perjuangan yang amat luas bagi orang-orang islam dapat dipermudah dengan sebaik-baiknya. Begitu pula bumi ini dijadikan jalan untuk kesucian bagi beliau saw, bahwa apabila sesorang muslim tidak mendapatkan air untuk wudhu, maka ia boleh bertayammum dengan tanah yang bersih untuk sholat. Hubungan antara air dan tanah ini dijadikan dengan mengingat kejadian Adam as, yang menurut peribahasa Al-qur’an dijadikan dari tanah yang basah.

Keistimewaan yang ketiga dari beliau saw. ialah kebalikannya dari syari’at-syari’at yang dahulu yang memberi perintah untuk membakar harta benda hasil perang, dalam syari’at beliau saw dihalalkan harta benda hasil perang( ghonimah). Peraturan ini mengandung hikmah demikian, pertama, supaya harta benda rampasan perang itu tidak akan hilang sia-sia, kedua supaya menjadi pelajaran bagi orang-orang zalim, bahwa kalau kamu akan menganiaya kepada orang lain, kemudian harta bendamu akan dirampas untuk diserahkan kepada orang-orang aniaya itu, ketiga supaya dalam masa islam menghadapi perang, orang-orang islam yang lemah itu dapat diberi kekuatan dengan jalan itu juga.

Keistimewaan yang ke-empat, ialah beliau saw diberi makam yang tertinggi dari pada syafaat Perkataan syafaat berarti jodoh. Menurut istilah ini syafa’at bukan bermaksud do’a yang biasa saja, melaingkan bermaksud satu tingkatan khusus dalam mana seorang yang dicintai oleh Allah swt, oleh karena pertaliannya yang akan berlipat dua ( yaitu perhubungan dengan Allah dan manusia, mendapat hak untuk mengajukan permohonan kepada Allah swt, supaya orang itu diterima oleh Allah swt. dan permohonan pengabulan ini bermaksud demikian : Bahwa ya Allah disatu pihak dengan nama pertalianku yang khusus dengan Engkau, dan difihak lain untuk makhluk-Mu atau mengemukakan kegelisahan hati dihadapanMu, aku mohon kepada-Mu supaya Engkau mencurahkan kasih sayang Mu kepada hamba-hambaMu dan memaafkan mereka.
Maka dalam hadits lain Rasulullah saw bersabda, bahwa pada hari kiamat apabila orang-orang akan gugup dan gelisah yang hebat dan ketika itu setelah putus pengharapan dari tiap-tiap jurusan, barulah mereka akan datang kepadaku, kemudian aku akan memberi syafaat kepada mereka dihadapan Allah swt dan syafaatku akan dikabulkan oleh-Nya.

Keistimewaan yang kelima dari beliau saw. ialah nabi-nabi yang dahulu diutus hanya kepada satu-satu bangsa yang tertentu saja, tetapi beliau saw diutus untuk segala bangsa diseluruh dunia. Inilah keistimewaan yang sangat agung dan satu keunggulan yang sangat mulia, maka tugas beliau saw. diluaskan untuk seluruh bangsa dan negeri dan sepanjang zaman serta beliau saw. ditetapkan sebagai penjelmaan yang lengkap dan sempurna dari Allah swt, sebagaimana satu Allah untuk seluruh Alam begitu pula berdiri satu nabi untuk seluruh dunia


Baca selengkapnya......

16 April, 2009

Pelajaran kedua


Artinya :
Diriwayatkan oleh Abdullah Ibnu Umar ra. Bahwa Rasulullah saw bersabda, bahwasanya Islam itu didasarkan atas lima perkara yaitu : 1. Menyaksikan bahwa tiada tuhan yang patut disembah melaingkan Allah dan Muhammad saw adalah hambaNya dan RasulNya, 2. mendirikan sembahyang. 3. membayar zakat. 4. naik Hajji ke Baitullah 5. Berpuasa dalam bulan Ramadhan. (Hadits Bukhari)

Haruslah diperhatikan dalam hadits sebelum ini telah dijelaskan tentang ‘iman’ dan dalam hadits ini diterangkan penjelasan tentang ‘Islam’. Perbedaan dari kedua Hadits ini, ialah Iman adalah ittiqad dan Islam adalah nama dari amal dan untuk kesempurnaan agama, kedua hal ini sangat diperlukan. Dalam kedua hadits ini, sama disebutkan tentang beriman kepada Allah dan rasulNya. Sebabnya ialah dalam hadits pertama iman kepada Allah dan RasulNya disebutkan hanya untuk menyatakan supaya ber’itiqad dalam hati dan membenarkan dengan lidah, tapi dalam hadits kedua ini disebutkan supaya menjadi sebagai dasar daripada segala amal, maka jelaslah menurut hadits ini dalam pengertian Islam, sebagai nomor pertama disebutkan untuk beriman kepada Tauhid Ilahi dan Risalah Nabi Muhammad saw, supaya tiap-tiap amal seorang muslim dapat didasarkan atas keyakinan yang suci ini, bahwasanya Allah swt itu Tunggal dan Rasulullah saw adalah Nabi-Nya yang membawa syariat penghabisan. Selanjutnya diterangkan pula empat amal ibadah sebagai berikut:



Amal ibadah yang pertama, ialah sholat, yakni sembahyang, yang menurut bahasa Arab berarti: do’a, tasbih, tahmid, yang dalam sehari semalam atau dalam 24 jam shalat diwajibkan 5 kali yang wajib dikerjakan setelah mempunyai thaharat atau bersuci dan berwudhu dengan cara yang telah ditetapkan. Dari lima sholat ini yang pertama ialah: sholat Subuh, yang harus dikerjakan sesudah memulai waktu subuh sampai sebelum terbit matahari, kedua ialah shalat Zhuhur, yang dikerjakan tengah hari sesudai matahari mulai condong, ketiga, ialah sholat Ashar, yang dikerjakan sesudah matahari cukup condongnya diwaktu sore. Keempat , ialah sholat Magrib yang dikerjakan sesudah Matahari terbenah, Kelima ialah sholat Isya yang dikerjakan sesudah hilang warna kemerah-merahan diwaktu mulai malam. Demikianlah bukan hanya dalam berbagai waktu pada siang hari saja, tetapi kepada kedua ujung waktu, awal dan akhir malam, waktu dipakai untuk berdzikir, beribadah dan memanjatkan do’a-do’a kehadapan Allah swt. Maksud dan tujuan dari pada sholat ialah menambahkan perhubungan diri seseorang dengan Allah swt. menghidupkan ingatan kepada Allah swt dalam sanubarinya dan dengan perantaraan itu mensucikan diri manusia dengan membersihkan segala kejahatan kekejian dan kemungkaran dari jiwanya serta memohon segala apa yang dibutuhkannya kepada Allah swt. Menurut sabda Nabi Muhammad saw, sholat yang sempurna ialah dimana orang yang mengerjakan sholat itu betul-betul penuh dengan keyakinan dan rela menerima keputusan dalam pengertian dan perbuatan, demikian : Bahwa dia seolah-olah melihat Dzat Allah swt atau sekurang-kurangnya dia yakin bahwa Allah swt sedang melihatNya. Dalam hal waktu-waktu sholat dengan cara yang sangat halus menunjukkan kepada berbagai perobahan keadaan kehidupan manusia. Oleh karena itu dalam bagian yang akhir dari siang hari dan apa bila kegelapan malam lagi mendekati, waktu diantara sholat-sholat itu dipendekkan betul-betul supaya diisyaratkan dalam hal ini, bahwa dengan bertambah tuanya umur manusia persediaan untuk alam akhirat haruslah dipercepat terus menerus. Ibadah sholat sesungguhnya adalah sebagi jiwa keruhaniaan. Oleh karena itulah, sholat dikatakan sebagai mi’rajnya orang mu’min. Yang mulia nabi Muhammad saw sendiri begitu asyik dan cinta kepada sholat, dimana beliau saw telah besabda “ Juilat qurratu ‘a’yinii fi shalatii = dijadikan biji mataku ada kesengan dalam sholat

Amal ibadah yang kedua dalam Islam, ialah Zakat, yang berarti : mensucikan sesuatu atau menambahkan sesuatu. Maksud yang terutama dari pada zakat ialah disatu pihak mensucikan harta benda orang-orang hartawan dengan mengambil hak-hak orang miskin dari harta benda sihartawan itu, dan dilain pihak mempertinggi kedudukan kaum dan mengangkat derajat orang-orangnya dengan memberi pertolongan kepada orang-orang yang miskin dan tidak mampu itu. Penetapan zakat atas logam emas dan perak dan perhiasan atau mata uang yang terbuat dari emas dan perak ( termasuk mata uang ) adalalah 2 ½ % sekali setahun. Perlu diperhatikan, bahwa nasab untuk emas tidak ditetapkan terpisah, melainkan didasarkan atas harga dari nasab untuk perak juga, yang senantiasa akan turun naik menurut perbandingan harga diantara kedua logam ini. Penetapan zakat atas barang-barang perdaganganpun adalah 2 ½ % sekali setahun. Dari penghasilan sawah-sawah, ladang-ladang, dan kebun-kebun, yang tadah hujan harus dibayar 1/10 sebagai zakatnya dan yang dengan irigasi harus dibayar 1/20 bagian zakatnya. Untuk kambing dan domba mulai 40 sampai dengan 120 ekor hanya dibayar dengan seekor kambing sebagai zakat, dan untuk sapi dan kerbau mulai dari 30 dibayarkan seekor anak sapi dan untuk setiap 5 ekor unta dibayar zakatnya dengan seekor kambing dan untuk 25 ekor unta dibayar zakatnya dengan sekor unta betina yang muda. Zakat untuk hasil tambang, atau hasil bumi ditambang/galian adalah 20% segaligus . Semua pendapatan dari zakat ini dibelanjakan untuk pertolongan dan kepentingan orang-orang fakir, miskin, orang yang berutang, musafir, budak, muallaf, mujahid dan orang-orang yang mengurus zakat itu.

Amal ibadah yang ketiga ialah Hajji,, yang berarti bepergian kesuatu tempat yang suci . menurut Istilah islam, Hajji ialah bepergian ke Makkah Mukarramah dan bertawaf disekeliling rumah Kabba dan Bukit Safa dan Marwa kemudian pergi kelapangan ‘Arafah, ialah 9 pal jauhnya dari Mekkah dan berhenti disana untuk berdo’a, lalu waktu kembalinya berhenti pula di Muzdalifah untuk beribadah dan akhirnya menyembelih korban dimakam Mina yang jauhnya 3 pal dari Mekkah. Hajji yang ditetapkan pada tgl 8, 9,10, Bulan Dzulhajji, bukan hanya bermaksud berziara saja, kesatu tempat tersuci, yang berhubungan dengan pengorbanan yang murni dari Hz Ibrahim as.. Hz Ismail as. Dan YM Muhammad saw, malah Hajj mengadakan pula kesempatan yang tiada bandingannya buat orang islam dari berbagai negara dan bangsa untuk bertemu dan mengenal satu sama lain serta bermusyawarah pula tentang urusan-urusan yang mengenai kepentingan bersama, Hajji hanya diwajibkan sekali seumur hidup, biaya yang secukupnya serta keamanan dalam perjalanan adalah syarat- syarat yang mesti ada.

Amal ibadah yang keempat, ialah Saumu Ramadhan, ialah berpuasa dalam bulan Ramadhan. Perkataan Saum dalam bahasa Arab berarti menahan diri. Ibadah ini dijalanka dalam bulan Ramadhan, yang menurut perhitungan Tahun Qamariah, berpindah-pindah dalam lain musim dalam setahun. Sesudah makan Sahur, sebelum masuk waktu Shalat Subuh hingga waktu matahari terbenam diwaktu magrib, tidak boleh makan atau minum atau bercampur suami istri. Boleh dikatakan waktu berpuasa orang-orang islam memberikan contoh dengan bukti amal tentang pengorbanan dirinya dan keturunannya. Ibadah Puasa ditetapkan untuk mensucikan diripribadi, membiasakan menahan diri dan bekerja dan selain dari itu untuk merasakan kesusahan orang-orang miskin serta menimbulkan semangat pengurbanan dalam orang-orang mukmin. Sesunggguhnya Puasa adalah satu ibadah yang sangat berbahagia.


Baca selengkapnya......

31 Maret, 2009

Pelajaran pertama


“An Umaro bnil Khothobi qola , qola Rasulullah saw, al iimanu an tu’mina bi llahi wa malaikatihii wa rusulihi wal yaumil aakhiri wa tu’minu bil qadri kherihi wa syarrihii.

Artinya
Dari Hadhrat Umar bin khottab ra, berkata, Rasulullah saw berkata:
Syarat iman itu bahwa kamu harus percaya pada Allah dan percaya pada malaikat-malaikatnya, pada kitab-kitabNya, dan pada nabi-nabinya, dan pada hari akhir, dan beriman pada adanya hari keputusan ganjaran amal baik dan pada keputusan Nya pada amal buruk ( HR Muslim)

Penjelasan,
Hadits diatas memberikan sebuah defenisi iman yang sebagai dasar dalam ajaran islam, yaitu yang terdiri dari enam dasar iman:

1. Percaya pada Allah swt sabagi Yang Maha Pencipta dan Maha Penguasa dunia, adalah sebagai dasar dari semua keyakinan dan agama. Oleh karena itu perlu diingat bahwa dalam bahasa Arab kata Allah tidak ada digunakan pada yang lain selain pada Allah Yang Maha Esa, dan itu menandakan Dia bebas dari semua cacat dan kelemahan-kelemahan, Dia yang memiliki semua sifat yang sempurna, pemilik semua pengetahuan dan yang mempunyai semua kekuatan.
2. Percaya pada Malaikat, sesuatu yang tersembunyi tetapi adalah ciptaan Allah yang sangat penting. Malaikat itu yang bekerja mengerakkan alam raya ini dibawah perintah Allah swt dan yang mengawasi mata rantai sebab akibat pada penciptaan Allah swt. Juga para malaikat bertindak sebagai perantara dalam percakapan antara Allah dan para nabi Nya.
3. Percaya kepada Kitab-kitab yang telah diturunkan oleh Allah swt yang telah didatangkan ke dunia untuk memperkenalkan Allah swt. Dan percaya bahwa kitab Al-Quran adalah kitab yang terakhir dan tersempurna dan yang telah menggantikan semua hukum-hukum yang lama yang telah datang secara berkala dan berbeda-beda dan selanjutnya tidak akan ada hukum lain hingga kiamat, kecuali hukum Al-qur’an.
4. Percaya pada Nabi-nabi Allah yang telah diutus dari waktu ke waktu, ada yang disertai kitab dan yang telah memperkenalkan pada dunia apa yang dianjurkan oleh Allah swt baik dengan contoh-contoh keperibadiannya. Nabi-nabi telah datang ditengah-tengah manusia tetapi akan halnya Rasul Allah, Nabi pembawa syariat terakhir, Pemimpin para nabi adalah Nabi Muhammad saw, yang telah diutus 1400 tahun lalu di Arabiah dan dia adalah manusia yang termulia dari keturunan Adam dan adalah pemilik puncak dari seluruh nabi itu.
5. Percaya pada Hari Akhir, yang mesti tidak bisa diingkari adanya setelah kematian, ketika setiap orang akan diganjar atas amal baiknya atau perbuatan buruknya yang telah dilakukannya di dunia ini.
6. Percaya pada aturan tetap tentang amal baik dan buruk yang berjalan di dunia dan dalam bentuk sebuah hukum Allah. Itu berarti pada dunia lain, kita berkeyakinan bahwa hukum alam dan hukum-hukum syariat keduanya adalah hukum yang sempurna dan Allah swt sendiri adalah Pembuat dan Pelindung yang zahir dan tersembunyi semuanya. Dia adalah Yang Mengatur segala sesuatu, baik benda yang nyata maupun tidak nyata, baik perbuatan yang baik ataupun perbuatan yang buruk akan menerima akibat dari yang telah Dia tetapkan. Dia memegang semua kekuasaan Hukum yang ada yang telah diciptakanNya. Karena semua berada dibawa kekuasanNya, maka bisa saja Dia merobahnya bila Dia menghendaki pada pengecualian-pengecualian tertentu yang dapat diperlihatkannya pada Nabi Nya sebagai Mu’jizat.

Baca selengkapnya......